Dipanggil Untuk Mewartakan Injil-Nya

DOA DI BALIK PINTU DINDING KAMARKU

Benih panggilan saya tumbuh sejak masih kecil. Di balik pintu dinding kamar saya, ibu saya menempelkan gambar Yesus dan Bunda Maria serta menggantungkan sebuah rosario di antara gambar tersebut. Setiap kali mau berangkat atau pulang sekolah dan setiap mau tidur malam atau bangun pagi, saya suka mengamat-amati kedua gambar itu. Sebelum tidur, ibu selalu mengatakan, “Ayo, doa dulu!” Di depan kedua gambar itu saya mengatupkan kedua tangan dan memejamkan mata untuk berdoa. Biasanya doa saya pendek saja, doa seorang anak kecil.

Setiap hari saya melihat ibu mengambil rosario dari tempatnya dan berdoa setelah semua pekerjaan rumah tangga selesai. Di rumah saya juga ada dua buah Injil besar berbahasa Jawa dengan gambar-gambar berwarna di perikop yang menceritakan kehidupan Tuhan Yesus. Ibu dan ayah saya sering menceritakan Injil bahasa Jawa ini atau membacakannya kepada anak-anaknya dan menerangkan maksudnya. Ceritanya hampir sama dengan cerita ibu guru di sekolah. Sepulang sekolah saya suka membolak-balik Injil itu untuk melihat gambarnya. Ibu pula yang mengajar saya untuk berdoa dan menanamkan benih iman dalam hati saya sejak kecil.

Ayah memasukkan saya di sebuah sekolah Katolik milik Yayasan Kanisius. Saya merasa senang berada di sekolah ini. Setiap hari ayah mengantar saya ke sekolah dan gereja, sedangkan ibu yang menjemput saya. Bagi saya, sekolah dan kegiatan gereja sangatlah menyenangkan. Saya sangat menyukai pelajaran Agama, apalagi kalau ibu guru sudah mulai bercerita dari Injil yang bergambar dan berwarna, sangat menarik bagi saya. Setelah menerima komuni pertama, ibu menyuruh saya untuk mengikuti kegiatan putra-putri altar di gereja. Setiap pagi, ibu selalu membangunkan saya untuk pergi misa dan tugas misdinar bersama adik saya. Ia membekali saya roti dan makanan yang perlu untuk sarapan pagi sebab setelah misa selesai, kami langsung ke sekolah, jarak gereja dan sekolah tidak terlalu jauh.

Di sebelah gereja ada sebuah Gua Maria yang menjadi tempat kesukaan saya untuk berdoa sebelum bertugas misdinar. Biasanya, sebelum masuk ke gereja saya suka memasang lilin dan berdoa di situ. Doa saya pendek saja, “Bunda, berilah aku masa depan yang cemerlang. Terima kasih.” Tanpa sadar apa maksud doa itu, tetapi saya memercayakan hidup dan masa depan saya pada Bunda Maria.

Menjelang hari raya Natal atau Paskah, biasanya kami menghabiskan banyak waktu di gereja untuk latihan koor atau latihan misdinar. Saya sangat bangga menjadi misdinar. “Dengan menjadi putri altar itu berarti saya melayani Tuhan sendiri,” kata ibu. Ibu juga mengajarkan bahwa Tuhan Yesus hadir dalam hosti kudus. Para suster CB atau romo SJ dan juga frater yang sedang TOP (Tahun Orientasi Pastoral) menjadi pembina misdinar kami. Mereka juga mengajarkan jika memukul gong saat konsekrasi, lihatlah Yesus dalam hosti yang sedang dikonsakrir. Sejak itu, saya selalu menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Yesus yang saya layani. Selain itu, saya juga paling senang kalau bertugas memukul gong, seolah-olah mau memberitahukan kepada semua orang untuk memperhatikan Yesus yang hadir dalam hosti yang diangkat ke atas oleh tangan imam.

KUASA TUHAN MENYENTUHKU

Ketika saya kelas II SMP, adik saya sakit pendarahan otak yang cukup parah dalam jangka waktu lama. Kondisi perekonomian keluarga saya tidak mencukupi untuk biaya pengobatan yang tinggi dan terus-menerus. Supaya dapat terus bersekolah, maka saya tinggal dengan tante saya di Bogor, sedangkan kakak saya tetap bersekolah sambil bekerja sebagai kernet angkot untuk biaya sekolahnya.

Waktu itu, ibu saya sudah mengenal pembaruan karismatik dan terlibat di dalamnya. Ibu pernah mengikuti Retret Awal di Jawa Tengah. Ada banyak perubahan yang saya lihat dalam hidup ibu setelah mengikuti pembaruan karismatik ini. Beliau menjadi rajin sekali untuk berdoa dan membaca Injil. Warna pembicaraannya juga berbeda, banyak berbicara soal iman dan Tuhan Yesus. Pada saat adik saya sakit ini, kelompok Persekutuan Doa banyak membantu keluarga saya, khususnya adik saya, dengan doa dan dukungan spiritual. Secara bergantian, mereka datang mengunjungi dan mendoakan, baik saat adik saya berada di rumah maupun di rumah sakit, sampai suatu saat adik saya mengalami mukjizat penyembuhan. Pendarahan otaknya lenyap berkat doa dan perayaan ekaristi.

Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan milik orang India dan saya tinggal di sebuah asrama. Seorang teman saya yang beragama Islam menderita sakit TBC yang sangat parah, sampai batuk berdarah. Teman saya ini hampir mau diberhentikan karena penyakitnya ini dan takut menular kepada yang lain. Sebelum diberhentikan, saya mengajaknya untuk ikut KRK di Cipanas. KRK ini diadakan oleh Rm. Yohanes dan para frater CSE bersama dengan Mgr. Harsono, Pr. Di situlah teman saya ini mengalami penyembuhan total dari sakit TBCnya berkat sabda pengetahuan dari seorang frater CSE. Setelah sembuh, teman saya ini masuk menjadi Katolik. Dia mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan Yesus yang menyembuhkannya.

Berkat dorongan dari ibu, saya ikut juga Retret Awal yang dibimbing oleh para suster Putri Karmel di Ngadireso, Malang. Dalam suatu acara Doa Yesus, Tuhan menyentuh hati saya dan meneguhkan panggilan saya untuk menjadi seorang biarawati. Walaupun saat itu saya belum tahu mau masuk ke kongregasi apa, tetapi perjumpaan dengan para suster Putri Karmel itu menggetarkan hati saya. setelah tiga tahun kemudian, barulah saya tahu bahwa para suster Putri Karmel itu pendirinya ialah Rm. Yohanes yang melayani KRK di Cipanas di mana teman saya mengalami kesembuhan dari sakit TBC.

Sebelumnya, saya juga pernah pacaran dengan seorang muslim. Dia seorang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, kakak kelas di sekolah SMA I di Bogor, dan dia orang Sunda. Walaupun dia terbuka untuk menjadi Katolik, namun seluruh keluarganya tidak ada seorang pun yang menyetujuinya. Akhirnya kami berpisah baik-baik. Setelah itu saya semakin mendekatkan diri kepada Yesus melalui kegiatan karismatik dan doa-doa pribadi. Benih panggilan untuk hidup membiara muncul semakin kuat di hati saya.

Kemudian saya meninjau di biara para frater CSE di Cipanas. Keheningan dan suasana pertapaan sungguh menarik hati saya. Setelah itu saya meninjau di biara para suster Putri Karmel di Malang. Seorang umat yang sering ikut retret di Ngadireso mengatakan kepada saya, “Di biara ini hanya makan sayuran, tidak makan daging, liburnya setelah tujuh tahun dan sebelum tujuh tahun tidak boleh pulang. Bagaimana nanti kalau kangen rumah? Kira-kira tahan tidak?” Mula-mula saya kaget juga. Kemudian saya menjawab, “Jika Tuhan benar-benar memanggil saya, maka Dia akan memberikan rahmat-Nya supaya saya bisa kuat.”

Sepulang meninjau, saya bilang kepada ibu saya bahwa saya sudah pasti akan masuk biara. Tetapi, saya tidak berani bilang kepada ayah saya. Saya minta ibu saya yang menjelaskannya kepada ayah supaya saya bisa mendapatkan restunya. Namun, ayah tetap keberatan. Tekad saya sudah bulat untuk bergabung dengan para suster Putri Karmel. Kemudian saya pergi ke biara saat ayah belum pulang kerja. Saya hanya minta dipamitkan kepada ayah karena beliau tidak mengizinkan saya masuk biara.

Selama berada di biara, ibu, kakak, dan adik saya sempat mengunjungi saya beberapa kali, tetapi ayah sama sekali tidak pernah datang. Beliau datang untuk yang pertama kalinya ke biara saay saya kaul kekal. Puji Tuhan, berkat doa-doa sekian lamanya, akhirnya beliau merelakan saya menikah dengan Yesus untuk selamanya. Walaupun seringkali saya tidak setia kepada-Nya, tetapi Dia selalu setia dan kasih-Nya tak pernah berubah untuk selamanya. Kerahiman-Nya sungguh tak terhingga dan Dia memanggil saya semata-mata hanya karena belas kasih-Nya. Dia memanggil saya untuk menjadi mempelai-Nya, kekasih-Nya, dan untuk mewartakan Injil-Nya serta turut serta dalam karya keselamatan-Nya.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena saya dapat mengenal dan mengalami kasih Tuhan Yesus karena jasa begitu banyak orang, baik mereka yang berdoa untuk saya, mereka yang mendidik, melayani, mengasihi, membimbingm dan membentuk saya. Mereka adalah orang tua saya, guru saya, pembina saya, pembimbing saya, para gembala, para religius, para misionaris, dan semua orang yang pernah hadir dalam hidup saya. Alangkah indahnya mereka yang telah membawakan kabar gembira bagi sesamanya. Puji dan syukur saya panjatkan bagi panggilan untuk mewartakan Injil dalam Gereja-Nya.

(Oleh: Sr. Maria Yoanita, P.Karm)

Dipanggil Untuk Mewartakan Injil-Nya
Tagged on: