Pergilah Ke Tempat Yang Sunyi

Di suatu senja pada hari Minggu dalam bulan Oktober 1986, setelah perayaan Ekaristi, hati saya diliputi oleh kebingungan. Dalam perjalanan pulang, saya ingin berlari, seakan-akan ingin terbang, saya ingin mendapatkan ketenangan. Sesampainya di tempat kos, saya langsung berdoa. Dalam jeritan batin dengan nada fortissimo—tetapi tak terdengar suara karena meluncur jauh ke dalam lubuk hati, tempat di mana Sang Bapa Surgawi bertakhta—saya berdoa, “Bapa, tunjukkanlah kepada anak-Mu ini, apakah kehendak-Mu? Apakah yang harus saya lakukan?” Setelah kira-kira sepuluh menit saya berada dalam perjuangan batin tersebut, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya: “Pergilah ke tempat yang sunyi!” Setelah itu, lenyaplah segala kebingungan saya dan hati saya pun diliputi oleh kedamaian. Saya sendiri tidak mengerti apa maksud kalimat tersebut. Saya mencoba merenungkan kalimat tersebut, tetapi tetap juga saya tidak mengerti.

Keesokan harinya—hari Senin, permulaan pekan—seperti biasa saya pergi ke kantor Kepala Sekolah untuk menyerahkan persiapan. Tiba-tiba mata saya tertuju ke salah satu meja yang ada sebuah majalah Hidup dengan tulisan besar di halaman depan “KONTEMPLATIF”. Saya membuka halaman demi halaman. Ada suatu topik yang menarik bagi saya: “Pertapaan Karmel, Ngadireso.” Majalah tersebut saya bawa pulang ke rumah lalu saya membacanya lagi. Semakin saya baca, semakin saya tertarik. Mengapa? Saya pun tidak tahu. Namun akibatnya, saya tidak ingin lagi aktif di lingkungan, kegiatan koor, dll. Sepulang kerja, saya lebih senang berada di kamar. Dan, setiap hari saya membaca lagi majalah tersebut. Segala aktivitas lain yang bersifat rohani terasa hampa karena hati saya terpesona oleh bacaan tersebut.

Tiga bulan lamanya saya menjadi aneh seperti itu. Saya pun ingin tahu ada apa sebenarnya di sana? Akhirnya, tanggal 27 Desember 1986 saya sampai di Pertapaan Karmel tersebut. Hati saya diliputi oleh damai dan sukacita. Tempatnya sunyi dan di senja hari hanya ada bunyi jangkrik yang baru pertama kali saya dengar.

Sekembalinya dari Pertapaan, saya belum juga mengerti maksud Tuhan. Selama sebulan, dalam renungan dan doa, barulah saya mengerti maksud Tuhan. Anehnya, hati saya begitu pasrah: “Tuhan, terjadilah kehendak-Mu.” Padahal, sebelumnya saya tidak mau hidup membiara, apalagi biara kontemplatif. Rencana saya adalah ikut aktif dalam kegiatan Paroki dan lingkungan saja sudah cukup. Ternyata Tuhan mempunyai rencana lain. “Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku” (Yes 55:8).

Setengah tahun kemudian, Dia memberikan kekuatan kepada saya untuk melangkah mengikuti Dia. Dia membuka rahasia kasih-Nya dan menyatakan kepada saya siapakah saya ini. Dia berbicara kepada saya melalui berbagai macam cara dan kesempatan, baik melalui Ekaristi, doa, retret, pelajaran, bimbingan pribadi, komunikasi dengan sesama, alam semesta dan ciptaan-Nya, dll. Dia sungguh hidup. Dia mengenal diri saya. Vivit Dominus in cuius conspectu sto ‘Allah hidup dan aku berdiri di hadirat-Nya’.

Dia sudah menyusun kurikulum dalam “sekolah kesempurnaan-Nya” yang khas bagi saya. “Sebab itu, sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia, dan membawa dia ke padang gurun, dan berbicara menenangkan hatinya” (Hos 2:13). Pelajaran pertama dalam sekolah kesempurnaan-Nya yang sangat berkesan bagi saya adalah melalui khotbah di suatu hari Minggu, “Bukalah topengmu!” Sabda-Nya bagaikan panah menembus kesadaran saya. Saya terkejut. “Tuhan, apakah diriku bertopeng?” Dan, selama beberapa hari sabda tersebut masih terdengar. Akhirnya, saya menyerah dan berdoa, “Lakukanlah, ya Tuhan, tolonglah aku! Bukalah topeng-topeng yang ada dalam diriku!”

Awal pembukaan topeng saya adalah dalam bulan Oktober 1987 pada acara Retret Penyembuhan Lukan Batin, khususnya pada saat doa penyembuhan batin. Saya melihat ada seorang bayi yang sangat kecil di tempat yang sangat jauh dan sendirian. Akhirnya, saya tahu bahwa itulah saya. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau” (Yer1:5). Tuhan mau membentuk dan menyembuhkan saya sejak dalam kandungan. Sungguh indah dan agung karya keselamatan-Nya bagi saya.

Saya mulai mengenal diri saya sendiri yang sangat rapuh dan lemah, yang cinta diri dan egois, tetapi sekaligus makin mengenal Bapa yang penuh kasih dan yang memperlakukan saya sebagai anak-Nya yang berharga di mata-Nya dan dikasihi-Nya. Kadang-kadang hidup saya diliputi oleh damai dan sukacita; kadang-kadang diliputi dengan perjuangan, bahkan disertai dengan air mata. Air mata adalah karunia Tuhan bagi saya karena sebelumnya saya adalah wanita yang sukar menangis. Hati saya rupanya mengeras seperti batu dan dingin membeku seperti es. Bagaikan seorang bayi yang baru lahir, “menangis” merupakan tanda kehidupan, begitu pula dengan diri saya. Melalui karunia air mata, saya lahir ke dalam kehidupan baru.

Sepanjang sejarah keselamatan saya ini, Tuhan memberikan sabda-sabda-Nya yang sangat menolong sebagai pegangan bagiku, yaitu: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm 8:28). “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1Kor 10:13).

Suatu ketika saya berdoa, “Tuhan, apakah Engkau memanggil aku untuk mati di sini?” Lalu Dia menjawab dengan penuh kelembutan melalui pelajaran St. Teresa dari Avila, “Kita dipanggil untuk mati bersama Dia, supaya kita dapat bangkit bersama Dia.” Mengalami kematian bagi diri sendiri sangatlah tidak mudah karena memerlukan rahmat khusus. Tahap demi tahap kita mati bersama Dia. Dia akan membawa kita kepada kebangkitan tahap demi tahap pula. Damai dan sukacita yang dialami hari ini, berbeda dengan damai dan sukacita yang dialami kemarin. Dalam saat-saat sukacita, kadang-kadang Dia menyatakan kasih-Nya dalam hal yang kecil dan manusiawi. Semuanya itu menambah pengenalan saya kepada-Nya dan ada suatu kebahagiaan yang khas pula.

Dalam hal ini, saya memiliki pengalaman kecil. Suatu ketika, pagi hari seusai hujan, ketika saya berjalan, pandangan saya terarah ke kebun. Tampaklah daun ubi yang hijau, muda, dan empuk. Secara spontan saya langsung ingin dan terbayang sayur daun ubi. Siapa yang menduga kalau menu makan siang hari itu adalah sayur daun ubi? Saya bahagia sekali. Yesus begitu mencintai saya, padahal saya tidak mengatakan kepada siapa pun, juga kepada Yesus. Dalam perjalanan hidup saya, saya senantiasa belajar menyerahkan diri kepada-Nya, dalam jatuh dan bangun. Dia Maha Sabar kepada saya.

“Ya Allah Tritunggal Maha Kudus, Bapa, Putra, dan Roh Kudus, terima kasih.
Inilah aku, kuserahkan diriku kepada-Mu.
Tuntunlah aku ke dalam jalan yang Kau sediakan bagiku menuju tanah air surgawi.
Di sanalah baru dinyatakan, dalam sekolah kesempurnaan-Mu.”

(Oleh: Sr. Maria Stefani, P.Karm)

Pergilah Ke Tempat Yang Sunyi
Tagged on: