Tuhan Yesus adalah sahabat dan Gembala. Sebagai sahabat, Dia sangat memahami saya dan menunjukkan yang terbaik untuk saya. Dialah teman saya yang paling dekat. Sebagai Gembala, Dia menuntun dan membimbing panggilan hidup saya, memberikan aneka karunia, jasmani dan rohani. Selain itu, Tuhan juga membuka jalan terbaik ketika saya mengalami kegagalan, kegalauan, dan kebingungan. Ia memberikan sukacita yang menyertai perjalanan panggilan tersebut. Melalui aneka pengalaman tersebut saya dapat belajar dan semakin memahami bahwa saya terbatas. Semua itu mengajar saya untuk berpasrah secara total kepada Tuhan.

Kadang kala, melalui suatu peristiwa tertentu dalam hidup saya, Tuhan mau menunjukkan hal yang lebih indah lagi dalam perjalanan panggilan saya. Di satu pihak, perjalanan panggilan terasa melelahkan. Namun, di pihak lain saya harus mensyukuri karena Tuhan selalu merencanakan yang terbaik dan terindah dalam diri saya. Saya dapat melihat dan mengatakan bahwa semuanya indah karena saya berusaha untuk melihat dalam terang iman. Aneka pengalaman di atas tidak hanya menyadarkan saya sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, akan tetapi menantang saya untuk setia membangun hidup doa dan kepasrahan kepada Tuhan. Oleh karena itu, panggilan hidup bakti merupakan sebuah rahmat dari Tuhan dan sekaligus kesungguhan saya untuk menjawab panggilan tersebut dalam suka dan duka.

RAHMAT HIDUP BAKTI

Perjalanan panggilan hidup membiara adalah sebuah perjalanan sejarah hidup seseorang dengan Tuhan yang memanggilnya. Perjalanan itu penuh dengan kisah, baik yang menarik maupun yang tidak menarik. Ketertarikan saya untuk hidup membiara berawal dari sebuah kisah yang sangat sederhana, bahkan penuh teka-teki. Sebelum saya menerima komuni pertama, saya sangat tertarik pada penampilan seorang imam SVD. Pada saat itu beliau sedang menjalankan misi di Indonesia, khususnya di paroki saya. Apa yang menarik pada pribadi pastor tersebut? Pertama-tama, beliau adalah sosok orang yang suci, lembut, ramah, murah senyum, tampan, dan penuh perhatian kepada semua umat yang dijumpainya. Selain itu, kotbah-kotbah beliau membuat hati saya berbunga-bunga dan mata saya berbinar-binar. Dengan pengalaman ini, secara spontan timbul dalam diri saya keinginan untuk menjadi seperti beliau. Rupanya pengalaman ini sangat membekas dalam ingatan saya. Adalah sebuah rahmat bahwa pada saat yang sama saya dan teman-teman kelas empat SD sedang mempersiapkan diri untuk menerima komuni pertama. Luar biasa! Hati saya diliputi rasa gembira yang meluap-luap. Pengalaman komuni pertama ini menimbulkan semangat baru dan rahmat baru dalam diri saya. Setelah pristiwa tersebut hati kerinduan saya terarah pada perkara-perkara rohani. Saya sangat menyukai pelajaran yang bersifat rohani. Saya juga tidak tahu dengan jelas mengapa kerinduan itu selalu menyemangati saya. Selanjutnya, saya suka membaca buku-buku yang mengisahkan tentang Yesus atau para kudus. Kerinduan ini sempat hilang ketika saya memasuki masa remaja.

Ketika saya memasuki masa remaja keinginan untuk hidup membiara semakin suram atau kabur. Akan tetapi, rahmat ternyata masih bekerja. Tuhan berbicara melalui seorang imam SVD. Suatu ketika beliau memanggil dan meminta saya untuk mencari beberapa teman mengikuti testing seminari menengah. Pada saat yang sama saya pun merasa heran sekaligus bertanya, “Mengapa harus saya?” Selama satu minggu saya berpikir dan merenungkan kembali pengalaman yang pernah saya rasakan ketika saya SD. Seolah-olah mata saya kembali dibuka dan kerinduan untuk hidup membiara kembali bersemi dalam hati saya. Selama di seminari menengah, teman-teman saya satu per satu meninggalkan seminari. Tinggallah saya seorang diri. Meskipun mereka meninggalkan seminari, sanubari saya perlahan-lahan semakin memahami hidup membiara. Selama beberapa tahun di seminari pun saya masih bingung menentukan panggilan hidup membiara, khususnya menentukan biara apa yang akan saya pilih. Selama di seminari saya senang berdoa, tetapi ke mana saya harus melangkah belum jelas. Saya mencoba melamar beberapa biara dan mengikuti test masuk dan diterima. Entah kenapa, suatu saat saya mendapat brosur tentang CSE (Carmelitae Sancti Eliae). Ketika saya membaca dan merenungkannya, hati saya seperti berbunga-bunga dan senang dengan cara hidup biara tersebut. Dari situlah saya mulai tertarik dengan CSE dan jatuh cinta kepadanya. Saya mencoba menghubungi Rm. Yohanes Indrakusuma, O.Carm. Saya pun mengikuti prasyarat-prasyarat yang ada, mulai dari lamaran, wawancara, sampai test masuk. Puji Tuhan! Saya melewati aneka prasyarat tersebut tahap demi tahap dan saya pun diterima di biara CSE. Saya bersyukur dan bersyukur kepada Tuhan atas penyertaan-Nya.

Di biara CSE inilah saya dibentuk dengan aneka macam cara. Perjalanan panggilan saya di CSE tidaklah mulus. Aneka pengalaman pahit pernah saya rasakan. Akan tetapi, ketertarikan pada perkara rohani justru membuat saya bertahan, tegar, dan tetap tersenyum dalam menghadapi aneka pengalaman tersebut. Selanjutnya, saya juga semakin memahami makna hidup membiara tersebut. Di tengah-tengah pengalaman tersebut saya selalu mencoba untuk bergembira dan setia pada pilihan saya. Saya juga selalu bersyukur dan bersyukur bahwa melalui biara CSE, saya dapat membenahi diri dan mendapatkan aneka karunia rohani dan jasmani yang begitu melimpah. Semuanya ini karena bimbingan dan penyelenggaraan Tuhan atas hidup saya. Oleh karena itu, sebagai anggota CSE, saya juga selalu berusaha untuk menjadi seorang CSE yang baik dan yang membawa berkat bagi orang lain. Melalui spiritualitas doa dan pelayanan, saya berusaha untuk semakin mencintai Yesus serta melayani-Nya dengan sekuat tenaga.

KETERTARIKAN PADA HIDUP IMAMAT

Pada awal saya ditugaskan belajar pada tahun 2000 di Malang, kerinduan menjadi imam tidak begitu kuat. Boleh dikatakan perjalanannya sangatlah mendatar. Akan tetapi, dorongan untuk menjadi imam ini mulai tumbuh semakin kuat ketika saya menjalani Tahun Orentasi Pastoral (TOP). Pengalaman apa yang menumbuhkan daya tarik hidup imamat ini? Yakni pengalaman-pengalaman ketika saya melayani umat di paroki, di lingkungan, dan di keluarga-keluarga. Pengalaman TOP ini merupakan kesempatan berahmat dalam hidup saya untuk melihat dan memaknai apa sebenarnya imamat itu. Bagi saya imam adalah gembala bagi jiwa-jiwa, sekaligus dia harus suci, saleh, dan baik. Tuntutan ini berat, sekaligus menantang saya. Akan tetapi, saya percaya bahwa Yesus justru memilih saya yang “tidak ada bentuk”-nya ini. Saya harus mensyukuri bahwa panggilan menjadi imam tidak untuk semua orang dan bukan sembarangan pula. Oleh karena itu, saya harus memeliharanya dengan baik. Pengalaman lain, yakni dukungan dan motivasi dari umat, sekurang-kurangnya umat yang saya jumpai. Mereka sangat mendukung saya untuk menjadi imam. Dukungan itu tidak hanya berupa kata-kata saja, tetapi mereka berjanji untuk mendoakan saya. Doa inilah yang menguatkan saya dan menambah gairah dan semangat untuk menjadi imam. Namun, yang paling mendasari semua pengalaman di atas adalah rahmat Tuhan sendiri yang bekerja.

“Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm 23). Penggalan kalimat ini sangat menarik dan menyentuh hati saya. Kata-kata pemazmur saya alami dan rasakan bahwa penyertaan Tuhan dalam hidup saya sangatlah nyata. Ketika saya jatuh Dia membangunkan saya, ketika saya lemah Dia menguatkan saya, ketika saya berusaha menjauh dari Tuhan, Dia menarik dan menyadarkan saya, ketika perjalanaan saya berliku-liku, Tuhan meluruskannya. Saya harus mengatakan bahwa Tuhan sangat dan terlalu baik dalam hidup saya.

Kesaksian oleh Rm. Patrisius de Jesu, CSE

Tuhan Adalah Gembalaku
Tagged on: