Pola Hidup CSE dan Putri Karmel
Para Frater CSE dan Suster Putri Karmel menjalani pola hidup yang bersifat kontemplatif namun terbuka pada karya Roh Kudus. Penekanan pola hidup mereka pada hidup doa dan kontemplasi oleh karena itu mereka mendirikan rumah-rumahnya di tempat-tempat yang sunyi, walaupun tidak ditutup kemungkinan mendirikan rumahnya di tempat lain, bahkan di tengah-tengah kota. Hidup doa dan kontemplasi mendapat penekanan yang penting dengan tetap terbuka pada karya pelayanan sebagaimana yang dikehendaki Tuhank. Sebagai pola hidupnya, para frater CSE dan Putri Karmel memiliki bentuk-bentuk hidup yang berbeda yang ditawarkan kepada anggotanya dan mereka dapat memilih bentuk hidup yang sesuai dengan panggilan pribadinya. Akan tetapi bentuk-bentuk hidup ini tidak menjadi sesuatu yang mutlak, tidak kaku, namun dapat berkembang dan berubah sesuai dengan keadaan dan perkembangan seseorang, juga kebutuhan tarekat.
Bentuk-bentuk hidup itu ialah:
a. Komunitas dasar: Komunitas ini pada dasarnya adalah sebuah komunitas kontemplatif terbuka dan rumah-rumah mereka berada dalam tempat-tempat yang sunyi dan sepi. Walaupun juga terbuka untuk pelbagai macam pelayanan yang sesuai dengan semangat dasarnya, penekanan ada pada hidup doa dan kontemplasi. Banyak waktu yang diluangkan untuk doa dan kontemplasi. Sehari dua jam untuk doa hening, pagi satu jam dan sore satu jam, dilakukan bersama dalam kapela. Di samping itu masih ada ibadat pagi dan sore yang mereka nyanyikan bersama, kemudian juga adorasi Sakramen Mahakudus selama kurang lebih 30 menit sehari.
b. Komunitas kontemplatif aktif: Komunitas ini memberikan lebih banyak waktu untuk pelayanan, namun tanpa melupakan, bahwa doa dan kontemplasi tetap yang utama. Sampai sekarang para anggotanya masih bercampur dalam komunitas dasar, tetapi tidak ditutup kemungkinan suatu ketika mendirikan rumah di tengah-tengah kota, tetapi dengan syarat-syarat yang memungkinkan penghayatan doa dan kontemplasi yang nyata.
c. Komunitas Padang Gurun : Komunitas ini bersifat kontemplatif murni, tanpa pelayanan keluar. Mereka itu bertugas berdiri hadirat Allah atas nama komunitas dan Gereja, untuk keselamatan umat manusia seluruhnya. Bagi komunitas dan Gereja mereka itu memainkan peranan Musa yang naik ke atas bukit sambil berdoa ketika Yosua pergi ke medan perang. Ternyata kemenangan Yosua ditentukan oleh Musa yang berdoa itu (bdk Kel 17: 9-13). Dari situ nyata, betapa pentingnya hidup mereka yang berdoa di hadapan Allah, siang malam. Namun juga bentuk hidup Padang Gurun ini tidak bersifat mutlak dan kaku, artinya dalam kemudian hari masih dapat mengenal perkembangan. Seseorang yang telah lama tinggal di Padang Gurun dapat saja suatu hari dipanggil kembali oleh Tuhan untuk “turun gunung” serta melayani umat Allah, seperti halnya nabi Elia yang tinggal dalam kesunyian gunung dan kadang-kadang dipanggil Allah untuk menyampaikan sabda-Nya kepada umat.