- Pencarianku Selama Ini
Entah apa sebabnya sehingga saya memberanikan diri untuk mengayunkan langkah dan mengikuti panggilan yang ada dalam hati saya. Entah mengapa saya memilih Putri Karmel sebagai tempat yang dapat memuaskan seluruh kerinduan saya untuk mencintai Dia yang telah memanggil saya. Dan, masih banyak “entah” lain yang pernah muncul dalam pikiran saya. kenyataannya, sekarang saya telah berada di kongregasi ini lebih dari sepuluh tahun. Saya menerima Sakramen Pembaptisan dan Komuni Pertama saat kelas VI SD pada tanggal 27 Desember 1982. Sejak pembaptisan itu, saya senang mengikuti Perayaan Ekaristi. Guru Agama saya mengajarkan tentang apa yang terjadi selama Perayaan Ekaristi. Dia menerangkan dengan penuh kesungguhan tentang saat konsekrasi dan saat komuni. Semua itu terekam baik dalam memori saya sehingga saya sangat menanti-nantikan saat konsekrasi dan komuni. Ketika SMP, saya ikut kegiatan misdinar dan REMAKA (Remaja Katolik) yang ada di paroki. Saat bertugas di altar, saya bertanya-tanya, “Apakah ada perempuan yang seperti imam? Yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan? Sepertinya saya ingin juga seperti itu.” Saya dibesarkan di Subang dan saya merasa tidak pernah melihat suster di sana. Memang mayoritas penduduknya beragama Islam. Keluarga saya sendiri belum menganut agama Katolik. Namun, dari TK sampai dengan SMP, saya belajar di sekolah Katolik. Ketika kelas II SMP, saya ikut retret yang dipimpin oleh dua suster CB di biara OCD di Lembang. Saat itulah pertama kalinya saya melihat suster. Ketika retret itu, saya menyukai suster yang lebih pendiam dan hanya senyum-senyum saja daripada suster yang begitu ceria, menarik, dan disenangi oleh teman-teman (mungkin karena saya memiliki karakter yang sama dengan dia). Waktu itu diberi kesempatan untuk konsultasi, tetapi saya tidak tahu apa artinya “konsultasi” itu. Saya dekati suster itu dan saya katakan bahwa saya mau menjadi seorang suster, tetapi saya masih jahat terhadap adik-adik saya dan sering berkelahi dengan mereka. Suster itu tersenyum dan berkata, “Kamu harus banyak berdoa dan mengasihi adik-adikmu.” Itulah konsultasi pertama dan tersingkat yang pernah saya lakukan. Selam retret itu, saya tidak pernah melihat suster OCD. Saya bertanya kepada teman-teman saya tentang suster OCD. Mereka menjelaskan sedikit dan hal ini membuat saya semakin penasaran. Saya coba pergi ke kapel mereka untuk mengintip, tetapi tidak melihat mereka. Saya hanya ingin tahu satu hal, “Apakah mereka pakai sandal atau tidak karena namanya Karmel tak berkasut?” Ketika selesai retret dan kembali ke rumah, hati saya sakit sekali. Entah apa sebabnya sehingga saya ingin menangis rasanya. Ada sesuatu yang mau diambil dari hati saya, tetapi saya hanya diam dan merasakan rasa sakit itu seorang diri. Suatu hari saya mengikuti Camping muda-mudi yang diadakan di paroki. Di hari terakhir camping, mama datang untuk menjemput saya. Ketika mau pulang, saya mendengar seorang guru yang mengatakan kepada mama saya, “Ibu, anak ibu ini cocok untuk menjadi seorang suster, loh.” Mama saya lalu menjawab, “Kalau anaknya mau, ya tidak apa-apa.” Saat itu saya ingin mendekat dan berteriak, “Iya, Ma, saya mau sekali!” Tetapi, saya hanya diam saja. Di becak dalam perjalanan pulang, mama saya marah-marah den membentak saya. Mama mengatakan bahwa sekali-kali saya tidak boleh jadi suster. Saya sedih sekali. Saya hanya berkata dalam hati, “Loh, tadi saya tidak bicara apa-apa. Khan, mama yang bilang saya boleh jadi suster.” Karena saya sangat sayang kepada mama, maka keinginan itu saya tepis dari pikiran saya. Setelah itu papa dan mama mulai melarang kalau saya terlalu sering ke gereja. Semuanya itu saya pendam sampai saya lulus SMA. Setelah SMA, saya melanjutkan kuliah di Akademi Sekretaris Tarakanita di Jakarta. Kerinduan untuk hidup membiara hilang sudah. Saya mulai serius belajar dan mengikuti kursus-kursus bahasa asing. Saya mulai senang jalan-jalan dengan teman-teman dan tidak lagi mengikuti kegiatan di paroki. Hal ini terjadi sampai saya lulus kuliah dan mulai bekerja. Kerinduan untuk menjadi suster hanya muncul setahun dua kali, yaitu saat Minggu Panggilan dan saat ziarah (setiap tahun saya diajak kakak saya berziarah ke gua Maria). Tetapi, dalam keseharian semuanya lenyap. Kemudian saya berkenalan dengan seorang pemuda dan akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan dia. Setelah tiga tahun pacaran, saya mulai aktif lagi di Legio Maria di Paroki Maria Kusuma Karmel (MKK). Pada waktu itu belum ada Legio Muda-mudi. Bersama beberapa teman, kami memulai kegiatan tersebut. Kemudian muncul kembali kerinduan itu, tetapi saya tepis dari pikiran saya sebab saya merasa bahwa Tuhan sudah memberikan seorang yang paling baik bagi saya. Tetapi, semakin saya menolak, semakin besar kerinduan itu muncul di dalam hati saya. Lebih lagi, saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri saya. Ada suatu kekosongan yang saya tidak mengerti dan membuat hati saya sakit. Saya berusaha menghilangkan perasaan ini dengan jalan-jalan, menonton TV, atau pergi ke bioskop. Memang, saat pergi perasaan menyakitkan itu hilang, tetapi saat sendirian, perasaan itu muncul kembali. Muncullah kebingungan dalam diri saya terhadap apa yang Tuhan kehendaki dari saya, “Menjadi suster atau hidup berkeluarga?” Saya yakin bahwa kedua hal ini dapat saya jalani dengan baik. Semakin saya berdoa, semakin saya bingung karena Tuhan memberikan semua yang terbaik pada waktu itu: pekerjaan dengan gaji dan posisi yang lumayan, pimpinan yang sangat baik, hubungan dengan orang tua dan saudara juga tidak ada masalah, hubungan dengan teman-teman juga harmonis. Akan tetapi, di lain pihak saya merasa ada kekosongan yang begitu mendalam dan saya tidak bisa menghindarinya. Kekosongan yang membuat saya sedih dan tidak tahu harus berbuat apa. Pada suatu malam, sepulang dari pesta pernikahan teman saya, pacar saya bertanya, “Kapan kita akan menikah?” Sebelumnya saya memang sudah mengambil keputusan bahwa saya akan menikah pada tahun 1998. Perasaan saya galau dan bingung. Namun, dengan berat hati saya menjawabnya, “Iya, nanti tahun depan.” Dan, dia bertanya lagi, “Sepertinya kamu tidak pasti, ya?” Akhirnya saya berkata jujur kepadanya mengenai apa yang terjadi dengan saya. Setelah saya selesai bercerita, dia menyarankan saya untuk pergi mencoba ke salah satu biara yang saya mau untuk meyakinkan panggilan saya. Kemudian dia mengatakan bahwa dia mengingkan agar saya bahagia. Kemudian saya pergi ke pasto di Paroki MKK dan bertanya tentang biara yang mungkin bisa saya coba. Pastornya bingung karena beliau tahu kalau saya sudah punya pacar. Lalu beliau memberikan alamat suster H.Carm di Malang. Saya berkunjung ke sana dan saya merasa senang tinggal beberapa hari bersama mereka. Tetapi, saya merasa bukan di sini panggilan saya. Kemudian saya meminta kepada pastor paroki tentang buku daftar ordo atau kongregasi yang ada. Setelah saya membacanya, saya tertarik dengan suster Klaris Misionaris dari Sakramen Maha Kudus karena saya memiliki devosi yang besar kepada Sakramen Maha Kudus. Maka, saya menghubungi biara mereka. Setelah berbicara dengan salah seorang suster di sana, dia menyarankan agar saya pergi ke rumah pusat dan formasi mereka di Madiun. Saya pun menyetujuinya, namun tidak dalam waktu dekat karena saya baru saja cuti. Waktu itu ada pula teman Legio saya yang mau masuk suster Ursulin dan dia mengajak saya ke Bandung untuk melihat-lihat biara mereka. Selama tiga hari saya berada di sana. Meskipun saya diterima dengan baik oleh para suster, namun saya merasa bahwa di sini bukan panggilan saya. Suatu hari tiba-tiba saya teringat akan pengalaman di tahun 1992 ketika mengantar kakak saya yang sakit ke tempat Rm. Yohanes di Cipanas. Kami mengikuti Misa Penyembuhan. Saya senang sekali dengan suasana di Pertapaan Lama dan suasana misa (yang bagi saya cukup aneh, tetapi menyentuh hati saya). Waktu komuni, saya melihat dua suster yang berjubah coklat duduk di bagian depan. Saya pikir mereka hanyalah tamu. Kemudian saya bertanya kepada pastor paroki saya apakah di tempat Rm. Yohanes ada pula susternya. Beliau menjawab ada dan saya meminta alamatnya untuk menghubungi mereka. Saya menulis surat dan menjelaskan apa yang saya alami. Beberapa hari kemudian, datanglah surat balasan dari Sr. Vianney, P.Karm beserta dengan brosur Putri Karmel. Saya baca brosur itu dan saya tertarik dengan kehidupan Padang Gurun. Saya tidak terlalu mengerti aktivitas dan pelayanan serikat, tetapi visi dan misi serikat sangat menarik bagi saya. Saya merasa inilah panggilan saya. Sebelum saya berangkat ke Malang untuk meninjau biara suster Putri Karmel, saya mendapatkan telepon dari suster Klaris Misionaris yang menanyakan kapan saya bisa ke Madiun. Saya beritahu bahwa setelah dari Tumpang—Malang, kalau sempat saya akan mampir ke Madiun. Namun, akhirnya saya tidak ke Madiun karena waktu itu sedang ada kampanye Pemilu sehingga keadaan cukup rawan, dan dari diri saya sendiri saya tidak mau pergi ke sana. Selama beberapa hari di Tumpang, saya mencoba merefleksikan kembali apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi saya. Saya juga mendengarkan kaset tentang Retret Awal. Kemudian Sr. Vianney mendoakan saya dan saya menangis. Saya sendiri tidak tahu mengapa saya menangis. Namun, saya merasa bahwa panggilan saya untuk menjadi biarawati diteguhkan. Setelah kembali ke Jakarta, sepertinya saya merasa ingin kembali ke Tumpang. Ada kerinduan dalam hati saya untuk tinggal di “hutan kecil” itu. Setelah pulang dari Tumpang, kakak tertua saya dari Subang menelepon saya dan menanyakan kabar saya. Karena tidak bisa berbohong, maka saya ceritakan bahwa saya berkunjung ke suatu biara. Kemudian kakak saya ini menceritakannya kepada saudara-saudara yang lain, kecuali kepada papa dan mama. Setelah saya memutuskan untuk masuk biara, saya pulang untuk memberitahu orang tua saya. Ketika malam hari, saya tidur di samping mama dan saya mulai sedikit bicara soal niat saya masuk biara. Kemudian mama bingung dan bertanya macam-macam. Saya kaget dan kasihan dengan mama. Saya berusaha menenangkan mama. Keesokan harinya sampai saya pulang ke Jakarta, mama tidak bicara apa-apa. Kemudian mama menghubungi kakak saya di Jakarta dan kakak saya memberitahukan semuanya. Rupanya, inilah saat di mana Tuhan menyingkapkan semuanya. Saat saya memberitahu pimpinan saya bahwa saya mau keluar dari pekerjaan, beliau tidak memberikan izin. Beliau berusaha mencegah saya keluar dan masuk biara. Beliau menawarkan kenaikan gaji, mobil, rumah, jalan-jalan ke luar negeri, dll. Teman-teman saya pun ada yang membodoh-bodohi saya. Kemudian saya merefleksikan semuanya itu, “Apa yang kurang?” Tidak ada! Semuanya bahkan berlebihan. Tuhan memberkati saya dengan yang terbaik. Tetapi, hanya satu yang kurang, yaitu ada kekosongan dalam hati saya yang tidak dapat diisi dengan semua yang saya miliki. Ada kerinduan untuk memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Entah dari mana datangnya keberanian dan kenekatan saya untuk meninggalkan semuanya itu dan mengikuti dorongan hati saya. Sebelumnya saya sering ragu-ragu dan takut dalam mengambil keputusan. Saya rasa Roh Kuduslah yang memberanikan saya untuk melangkah dan menanggapi panggilan kasih Tuhan. Akhirnya saya diterima sebagai postulan Putri Karmel pada tanggal 15 Juli 1998—tahun di mana saya berjanji mau menikah dengan pacar saya—saya memulai hidup yang baru bersama pacar baru saya, yaitu Yesus yang terlebih dahulu mencintai dan memanggil saya. Saya tidak mengingkari janji saya, tetapi saya mengikat cinta yang ada dalam hati saya pada tahun yang sama dengan pribadi yang berbeda. Kesaksian oleh Sr. Marie Alphonsa, P.Karm
- Lika-Liku Panggilanku
ANUGERAH PANGGILAN Pertama kali saya merasakan panggilan Tuhan untuk hidup membiara baru pada tahun 1996, waktu saya berada di Paroki St. Yosep, Bajawa—Flores, yang dikelola oleh para romo OCD. Setiap hari Minggu, saya mengikuti perayaan Ekaristi di sana. Dan, di tempat inilah hati saya mulai terpikat oleh penampilan para frater OCD dengan jubah cokelatnya yang keren. Lalu terlintaslah dalam benak saya untuk berjubah seperti mereka. Seuntai doa terucap dari bibir saya, “Tuhan, jikalau Engkau menghendaki, aku juga ingin memakai jubah seperti mereka.” Hasrat mulia ini tersimpan dengan rapi dalam lubuk hati saya. Waktu itu saya sudah bekerja di sebuah toko yang pemiliknya dari Atambua. Pada suatu hari, suasana toko menjadi sepi karena tidak ada pengunjung. Dengan suara lembut dan bernada mengajak, saya menyanyikan kalimat ajakan imam yang biasa diucapkan sebelum Doa Pembukaan pada perayaan Ekaristi, “Marilah berdoa.” Lalu dengan spontan, Aci—sapaan untuk majikan wanita—mengatakan, “Hei, Benyamin—nama baptis saya—kamu cocok jadi pastor. Dan, kalau kamu mau, saya akan antar kamu ke biara OCD biar kamu mengenal cara hidup mereka.” Saya menjawb, “Oh, Aci, saya mau dan kapan saya bisa diantar ke sana?” Aci menyambung, “Oke, tunggu saja.” Saya bersyukur karena ada peneguhan dari Aci. Waktu terus berjalan sambil menanti kapan saya diajak Aci ke biara OCD. Akhirnya sampailah waktunya saya harus meninggalkan kota Bajawa dan kembali ke Timor—tanah kelahiranku—dan saya belum sempat diajak ke biara OCD tersebut. Saya tiba di kampung halaman pada bulan September 1997. Selama berada di kampung halaman, keinginan untuk hidup membiara tetap terpatri dalam lubuk hati saya. Akan tetapi, saya malu dan takut mengungkapkan kepada orang tua dengan dalih bagaimana kalau mereka tidak mengindahkan keinginan saya ini. Sejak September 1997—Desember 1998, saya terus memohon kepada Tuhan agar memelihara benih panggilan yang mulai tumbuh di dalam diri saya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan kedua orang tua, saya menghadap ke pastor paroki, Rm. Hendrikus Hale, Pr pada awal Januari 1999. Saya ungkapkan niat saya kepadanya. Puji Tuhan, beliau mendukung panggilan saya. Yang menjadi beban adalah bagaimana saya menyampaikannya kepada orang tua. Keinginan untuk masuk biara sangat bertentangan dengan dengan keinginan mereka sebab mereka menginginkan agar saya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sambil menanti saat yang tepat untuk menyampaikannya, saya terus berdoa kepada Tuhan agar orang tua saya mengabulkan keinginan saya. Akhirnya saya meminta bantuan Rm. Hendrikus untuk menyampaikannya kepada mereka. Puji Tuhan, berkat bantuan Rm. Hendrikus, keinginan saya diluluskan oleh mereka. Setelah mendapatkan izin resmi untuk masuk biara, saya diberi buku Petunjuk Gereja oleh Rm. Hendrikus yang di dalamnya ada banyak biara. Saya bingung mau ke biara mana. Teringat biara Karmel OCD di Flores—Bajawa, tetapi tidak mungkin saya kembali ke Bajawa karena udaranya dingin. Jika masuk biara di sana berarti harus tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Saya sangat senang dengan kekarmelitannya, tetapi saya tidak bisa bersahabat dengan cuacanya. Dalam kebingungan, saya tetap berdoa. Kemudian saya menemukan dua biara yang saya rasa cocok bagi saya, yaitu biara Fransiskan (OFM) di Ruteng—Flores dan biara MSC di Purwokerto—Jawa Tengah. Pikir saya, dari antara kedua biara ini, saya akan bergabung dengan biara yang menerima lamaran saya. Tetapi, saya merasa masih ada yang kurang dengan dua biara ini, yaitu keduanya bukan Karmel. Saya mau yang Karmel, yang lebih mengutamakan hidup doa. Masih dalam suasana kebingungan ini, datanglah seorang penolong yang diutus Tuhan, yaitu Rm. Moses Olin, Pr—pastor paroki Manumean, paroki tetangga yang masih dalam Keuskupan Atambua. Karena pastorannya sedang direnovasi, maka untuk sementara dia tinggal di paroki kami. Saya sering menjadi teman seperjalanannya kalau beliau pergi ke parokinya untuk patroli atau kunjungan ke stasi. Dari sinilah saya makin mengenal beliau yang ternyata merupakan pecinta karismatik dan pernah retret pribadi selama dua minggu di Lembah Karmel—Cikanyere. Sekembalinya ke Atambua, beliau membawa brosur CSE. Ketika saya menceritakan keinginan saya untuk masuk biara, beliau memberikan brosur CSE tersebut untuk saya baca. Saat membaca brosur tersebut, hati saya tersentuh dengan cara hidup CSE yang agak unik dibandingkan dengan biara kontemplatif lainnya, yaitu perpaduan antara spiritualitas Karmel dan pembaruan hidup dalam Roh. Meskipun waktu itu saya belum mengenal CSE secara lebih dekat, tetapi gaya hidupnya sudah mengusik hati saya. Lalu saya melamar ke tiga biara, yaitu biara OFM St. Yosep di Ruteng, biara MSC di Purwokerto, dan biara CSE. Dari ketiga biara ini, yang membalas surat lamaran saya hanya biara CSE. Kemudian saya melengkapi persyaratan untuk diterima sebagai calon CSE yang belum sempat terkirim waktu awal melamar. Dan, pada tanggal 5 Juli 1999 saya menerima surat balasan yang menyatakan bahwa saya diterima sebagai calon postulan CSE. Betapa bersukacitanya saya waktu itu. Sewaktu mempersiapkan segala keperluan untuk masuk biara, datanglah satu tantangan lagi. Kali ini muncul dari dalam pikiran saya. Saya teringat akan semua milik saya, tanah yang sudah saya beli untuk dibangun rumah, sawah yang baru saja dibelikan oleh orang tua, sapi-sapi yang menjadi bagian saya sebagai hak anak sulung, teman-teman saya, dan teristimewa pacar saya. Namun, saya tidak bisa membohongi niat suci saya. Dan, akhirnya saya memutuskan untuk tetap berangkat ke biara CSE. Tanggal 19 Juli 1999 saya berangkat bersama dengan Rm. Moses. Dan, pada tanggal 13 Agustus 1999, saya bersama dengan ketujuh saudara yang lain, resmi diterima sebagai postulan CSE. Sebulan berikutnya, bergabung satu saudara lagi, sehingga kami berjumlah sembilan orang. Kami mulai mengenal satu sama lain dan menerima perbedaan yang ada. Di sinilah perjuangan kami. Pada tahun 2000, saya mengalami penundaan untuk masuk ke masa Novisiat. Pengalaman ini merupakan salah satu pengalaman pahit yang saya alami di CSE. Saat itu saya mengalami suatu kegelapan dalam hidup saya. Saya merasa gagal dan sia-sia saja perjuangan selama setahun. Dalam kegelapan itu, saya berteriak kepada Tuhan untuk meminta petunjuk. Lalu Tuhan menunjukkan jalan yang harus saya tempuh dan saya syukuri. Saya datang kepada dua saudara lain yang lebih senior untuk menceritakan beban saya. Dan, melalui merekalah saya mendapatkan peneguhan untuk tetap melangkah. Mereka menceritakan kisah St. Theresia dari Lisieux yang mengalami penundaan kaul pertamanya. Berkat kesetiaan dan kesabarannya, maka ia sekarang menjadi orang kudus besar. Kemudian saya berdoa di dalam pondok saya seraya bersyukur atas peneguhan yang baru saja saya terima. Dalam doa itu saya terdorong untuk membuka Kitab Suci. Dan, tanpa saya sadari saya membuka Surat Petrus yang pertama, “Sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1Ptr 1:6-7). Melalui firman-Nya ini, saya makin diteguhkan dan makin bersyukur. Selain itu, melaui peristiwa ini saya diajar untuk makin rendah hati, bersabar, menerima diri saya apa adanya, dan terus bertumbuh dalam iman. Waktu terus melaju dan tak terasa tibalah saat bagi saya untuk menyerahkan diri saya seutuh-utuhnya kepada-Nya lewat pengikraran kaul kekal. Tanggal 20 Juli 2007, saya bersama dengan dua saudara yang lain—fr. Joseph Krisostomus, CSE dan fr. Elisa Maria, CSE—dengan tekad yang bulat, kami menyerahkan diri kepada-Nya untuk seumur hidup. PANGGILAN DAN PENGALAMAN DI PADANG GURUN Memasuki tempat yang berhiaskan kesunyian dan keheningan “Padang Gurun” adalah suatu rahmat Tuhan bagi saya. Awal mula saya terkesan dengan kehidupan Padang Gurun pada tahun 1999. Waktu itu saya masih postulan dan sedang mengikuti retret pribadi di sana. Retret ini merupakan saat istimewa bagi saya untuk berada bersama Tuhan dalam kesendirian bersama Tuhan di tengah-tengah keheningan dan kesunyian. Pada hari terakhir retret, berat rasanya untuk meninggalkan Padang Gurun. Sejak saat itulah, saya terus merindukan Padang Gurun. Saya bergabung dengan Komunitas Padang Gurun pada tanggal 8 September 2003. Saya memilih kehidupan ini bukan karena pelarian, melainkan pilihan bebas dari saya. Ada berbagai motivasi yang mendorong saya, antara lain kerinduan saya untuk selalu bersemuka dengan Tuhan di tempat yang sunyi dan hening melalui doa-doa, kerinduan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa malang yang sangat membutuhkan pertolongan, kerinduan untuk berdoa bagi Gereja dan dunia serta para suster dan frater yang pelayanan aktif. Di Padang Gurun ini saya telah banyak mengalami kasih dan kehadiran Tuhan yang dinyatakan lewat alam ciptaan di sekeliling saya. Bagi saya, Padang Gurun adalah suatu tempat yang berlimpah dengan susu dan madu rohani yang selalu memberikan asupan vitamin dan protein bagi pertumbuhan rohaniku. Di Padang Gurun ini pula saya semakin “ditelanjangi” oleh Tuhan. Ibaratnya, orang sedang bercermin di air yang tenang, maka ia akan dapat melihat dengan jelas dirinya sendiri. Dalam keheningan dan kesunyian, saya makin menyadari akan segala kekurangan dan keterbatasan saya sebagai manusia. Hal ini membuat saya makin bersandar pada kasih dan kerahiman-Nya. Pernah juga pada masa-masa tertentu, saya merasakan kejenuhan dan kebosanan. Namun, Tuhan kembali menguatkan saya melalui sabda-Nya, “Sebab itu, sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia, dan membawa dia ke padang gurun, dan berbicara menenangkan hatinya” (Hos 2:13). Sungguh luar biasa rahmat Tuhan dalam hidup saya. Di saat saya mengalami godaan dan cobaan, Dia sendiri berjanji untuk menenangkan hati saya serta memberikan jalan keluar dan penghiburan sehingga saya bisa terus menapaki perjalanan panggilan saya di Padang Gurun. Itulah lika-liku perjalanan panggilan saya. Di sepanjang perjalanan panggilan saya, Tuhan sendirilah yang menjadi Bapak sekaligus Saudara dan Sahabat yang selalu menolong, menuntun, membimbing, dan melindungi saya. Selain itu, saya bersyukur dengan adanya sesama saudara dalam komunitas karena melalui mereka pula, maka saya masih bisa bertahan hingga saat ini. Dan, satu hal yang sangat saya syukuri adalah masih mengalami kebersamaan bersama dengan Bapak Pendiri yang selalu menanamkan nilai-nilai rohani bagi kami semua. (oleh: Paschalis Claudius, CSE)
- Dipanggil Untuk Mewartakan Injil-Nya
DOA DI BALIK PINTU DINDING KAMARKU Benih panggilan saya tumbuh sejak masih kecil. Di balik pintu dinding kamar saya, ibu saya menempelkan gambar Yesus dan Bunda Maria serta menggantungkan sebuah rosario di antara gambar tersebut. Setiap kali mau berangkat atau pulang sekolah dan setiap mau tidur malam atau bangun pagi, saya suka mengamat-amati kedua gambar itu. Sebelum tidur, ibu selalu mengatakan, “Ayo, doa dulu!” Di depan kedua gambar itu saya mengatupkan kedua tangan dan memejamkan mata untuk berdoa. Biasanya doa saya pendek saja, doa seorang anak kecil. Setiap hari saya melihat ibu mengambil rosario dari tempatnya dan berdoa setelah semua pekerjaan rumah tangga selesai. Di rumah saya juga ada dua buah Injil besar berbahasa Jawa dengan gambar-gambar berwarna di perikop yang menceritakan kehidupan Tuhan Yesus. Ibu dan ayah saya sering menceritakan Injil bahasa Jawa ini atau membacakannya kepada anak-anaknya dan menerangkan maksudnya. Ceritanya hampir sama dengan cerita ibu guru di sekolah. Sepulang sekolah saya suka membolak-balik Injil itu untuk melihat gambarnya. Ibu pula yang mengajar saya untuk berdoa dan menanamkan benih iman dalam hati saya sejak kecil. Ayah memasukkan saya di sebuah sekolah Katolik milik Yayasan Kanisius. Saya merasa senang berada di sekolah ini. Setiap hari ayah mengantar saya ke sekolah dan gereja, sedangkan ibu yang menjemput saya. Bagi saya, sekolah dan kegiatan gereja sangatlah menyenangkan. Saya sangat menyukai pelajaran Agama, apalagi kalau ibu guru sudah mulai bercerita dari Injil yang bergambar dan berwarna, sangat menarik bagi saya. Setelah menerima komuni pertama, ibu menyuruh saya untuk mengikuti kegiatan putra-putri altar di gereja. Setiap pagi, ibu selalu membangunkan saya untuk pergi misa dan tugas misdinar bersama adik saya. Ia membekali saya roti dan makanan yang perlu untuk sarapan pagi sebab setelah misa selesai, kami langsung ke sekolah, jarak gereja dan sekolah tidak terlalu jauh. Di sebelah gereja ada sebuah Gua Maria yang menjadi tempat kesukaan saya untuk berdoa sebelum bertugas misdinar. Biasanya, sebelum masuk ke gereja saya suka memasang lilin dan berdoa di situ. Doa saya pendek saja, “Bunda, berilah aku masa depan yang cemerlang. Terima kasih.” Tanpa sadar apa maksud doa itu, tetapi saya memercayakan hidup dan masa depan saya pada Bunda Maria. Menjelang hari raya Natal atau Paskah, biasanya kami menghabiskan banyak waktu di gereja untuk latihan koor atau latihan misdinar. Saya sangat bangga menjadi misdinar. “Dengan menjadi putri altar itu berarti saya melayani Tuhan sendiri,” kata ibu. Ibu juga mengajarkan bahwa Tuhan Yesus hadir dalam hosti kudus. Para suster CB atau romo SJ dan juga frater yang sedang TOP (Tahun Orientasi Pastoral) menjadi pembina misdinar kami. Mereka juga mengajarkan jika memukul gong saat konsekrasi, lihatlah Yesus dalam hosti yang sedang dikonsakrir. Sejak itu, saya selalu menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Yesus yang saya layani. Selain itu, saya juga paling senang kalau bertugas memukul gong, seolah-olah mau memberitahukan kepada semua orang untuk memperhatikan Yesus yang hadir dalam hosti yang diangkat ke atas oleh tangan imam. KUASA TUHAN MENYENTUHKU Ketika saya kelas II SMP, adik saya sakit pendarahan otak yang cukup parah dalam jangka waktu lama. Kondisi perekonomian keluarga saya tidak mencukupi untuk biaya pengobatan yang tinggi dan terus-menerus. Supaya dapat terus bersekolah, maka saya tinggal dengan tante saya di Bogor, sedangkan kakak saya tetap bersekolah sambil bekerja sebagai kernet angkot untuk biaya sekolahnya. Waktu itu, ibu saya sudah mengenal pembaruan karismatik dan terlibat di dalamnya. Ibu pernah mengikuti Retret Awal di Jawa Tengah. Ada banyak perubahan yang saya lihat dalam hidup ibu setelah mengikuti pembaruan karismatik ini. Beliau menjadi rajin sekali untuk berdoa dan membaca Injil. Warna pembicaraannya juga berbeda, banyak berbicara soal iman dan Tuhan Yesus. Pada saat adik saya sakit ini, kelompok Persekutuan Doa banyak membantu keluarga saya, khususnya adik saya, dengan doa dan dukungan spiritual. Secara bergantian, mereka datang mengunjungi dan mendoakan, baik saat adik saya berada di rumah maupun di rumah sakit, sampai suatu saat adik saya mengalami mukjizat penyembuhan. Pendarahan otaknya lenyap berkat doa dan perayaan ekaristi. Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan milik orang India dan saya tinggal di sebuah asrama. Seorang teman saya yang beragama Islam menderita sakit TBC yang sangat parah, sampai batuk berdarah. Teman saya ini hampir mau diberhentikan karena penyakitnya ini dan takut menular kepada yang lain. Sebelum diberhentikan, saya mengajaknya untuk ikut KRK di Cipanas. KRK ini diadakan oleh Rm. Yohanes dan para frater CSE bersama dengan Mgr. Harsono, Pr. Di situlah teman saya ini mengalami penyembuhan total dari sakit TBCnya berkat sabda pengetahuan dari seorang frater CSE. Setelah sembuh, teman saya ini masuk menjadi Katolik. Dia mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan Yesus yang menyembuhkannya. Berkat dorongan dari ibu, saya ikut juga Retret Awal yang dibimbing oleh para suster Putri Karmel di Ngadireso, Malang. Dalam suatu acara Doa Yesus, Tuhan menyentuh hati saya dan meneguhkan panggilan saya untuk menjadi seorang biarawati. Walaupun saat itu saya belum tahu mau masuk ke kongregasi apa, tetapi perjumpaan dengan para suster Putri Karmel itu menggetarkan hati saya. setelah tiga tahun kemudian, barulah saya tahu bahwa para suster Putri Karmel itu pendirinya ialah Rm. Yohanes yang melayani KRK di Cipanas di mana teman saya mengalami kesembuhan dari sakit TBC. Sebelumnya, saya juga pernah pacaran dengan seorang muslim. Dia seorang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, kakak kelas di sekolah SMA I di Bogor, dan dia orang Sunda. Walaupun dia terbuka untuk menjadi Katolik, namun seluruh keluarganya tidak ada seorang pun yang menyetujuinya. Akhirnya kami berpisah baik-baik. Setelah itu saya semakin mendekatkan diri kepada Yesus melalui kegiatan karismatik dan doa-doa pribadi. Benih panggilan untuk hidup membiara muncul semakin kuat di hati saya. Kemudian saya meninjau di biara para frater CSE di Cipanas. Keheningan dan suasana pertapaan sungguh menarik hati saya. Setelah itu saya meninjau di biara para suster Putri Karmel di Malang. Seorang umat yang sering ikut retret di Ngadireso mengatakan kepada saya, “Di biara ini hanya makan sayuran, tidak makan daging, liburnya setelah tujuh tahun dan sebelum tujuh tahun tidak boleh pulang. Bagaimana nanti kalau kangen rumah? Kira-kira tahan tidak?” Mula-mula saya kaget juga. Kemudian saya menjawab, “Jika Tuhan benar-benar memanggil saya, maka Dia akan memberikan rahmat-Nya supaya saya bisa kuat.” Sepulang meninjau, saya bilang kepada ibu saya bahwa saya sudah pasti akan masuk biara. Tetapi, saya tidak berani bilang kepada ayah saya. Saya minta ibu saya yang menjelaskannya kepada ayah supaya saya bisa mendapatkan restunya. Namun, ayah tetap keberatan. Tekad saya sudah bulat untuk bergabung dengan para suster Putri Karmel. Kemudian saya pergi ke biara saat ayah belum pulang kerja. Saya hanya minta dipamitkan kepada ayah karena beliau tidak mengizinkan saya masuk biara. Selama berada di biara, ibu, kakak, dan adik saya sempat mengunjungi saya beberapa kali, tetapi ayah sama sekali tidak pernah datang. Beliau datang untuk yang pertama kalinya ke biara saay saya kaul kekal. Puji Tuhan, berkat doa-doa sekian lamanya, akhirnya beliau merelakan saya menikah dengan Yesus untuk selamanya. Walaupun seringkali saya tidak setia kepada-Nya, tetapi Dia selalu setia dan kasih-Nya tak pernah berubah untuk selamanya. Kerahiman-Nya sungguh tak terhingga dan Dia memanggil saya semata-mata hanya karena belas kasih-Nya. Dia memanggil saya untuk menjadi mempelai-Nya, kekasih-Nya, dan untuk mewartakan Injil-Nya serta turut serta dalam karya keselamatan-Nya. Saya bersyukur kepada Tuhan karena saya dapat mengenal dan mengalami kasih Tuhan Yesus karena jasa begitu banyak orang, baik mereka yang berdoa untuk saya, mereka yang mendidik, melayani, mengasihi, membimbingm dan membentuk saya. Mereka adalah orang tua saya, guru saya, pembina saya, pembimbing saya, para gembala, para religius, para misionaris, dan semua orang yang pernah hadir dalam hidup saya. Alangkah indahnya mereka yang telah membawakan kabar gembira bagi sesamanya. Puji dan syukur saya panjatkan bagi panggilan untuk mewartakan Injil dalam Gereja-Nya. (Oleh: Sr. Maria Yoanita, P.Karm)
- Pergilah Ke Tempat Yang Sunyi
Di suatu senja pada hari Minggu dalam bulan Oktober 1986, setelah perayaan Ekaristi, hati saya diliputi oleh kebingungan. Dalam perjalanan pulang, saya ingin berlari, seakan-akan ingin terbang, saya ingin mendapatkan ketenangan. Sesampainya di tempat kos, saya langsung berdoa. Dalam jeritan batin dengan nada fortissimo—tetapi tak terdengar suara karena meluncur jauh ke dalam lubuk hati, tempat di mana Sang Bapa Surgawi bertakhta—saya berdoa, “Bapa, tunjukkanlah kepada anak-Mu ini, apakah kehendak-Mu? Apakah yang harus saya lakukan?” Setelah kira-kira sepuluh menit saya berada dalam perjuangan batin tersebut, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya: “Pergilah ke tempat yang sunyi!” Setelah itu, lenyaplah segala kebingungan saya dan hati saya pun diliputi oleh kedamaian. Saya sendiri tidak mengerti apa maksud kalimat tersebut. Saya mencoba merenungkan kalimat tersebut, tetapi tetap juga saya tidak mengerti. Keesokan harinya—hari Senin, permulaan pekan—seperti biasa saya pergi ke kantor Kepala Sekolah untuk menyerahkan persiapan. Tiba-tiba mata saya tertuju ke salah satu meja yang ada sebuah majalah Hidup dengan tulisan besar di halaman depan “KONTEMPLATIF”. Saya membuka halaman demi halaman. Ada suatu topik yang menarik bagi saya: “Pertapaan Karmel, Ngadireso.” Majalah tersebut saya bawa pulang ke rumah lalu saya membacanya lagi. Semakin saya baca, semakin saya tertarik. Mengapa? Saya pun tidak tahu. Namun akibatnya, saya tidak ingin lagi aktif di lingkungan, kegiatan koor, dll. Sepulang kerja, saya lebih senang berada di kamar. Dan, setiap hari saya membaca lagi majalah tersebut. Segala aktivitas lain yang bersifat rohani terasa hampa karena hati saya terpesona oleh bacaan tersebut. Tiga bulan lamanya saya menjadi aneh seperti itu. Saya pun ingin tahu ada apa sebenarnya di sana? Akhirnya, tanggal 27 Desember 1986 saya sampai di Pertapaan Karmel tersebut. Hati saya diliputi oleh damai dan sukacita. Tempatnya sunyi dan di senja hari hanya ada bunyi jangkrik yang baru pertama kali saya dengar. Sekembalinya dari Pertapaan, saya belum juga mengerti maksud Tuhan. Selama sebulan, dalam renungan dan doa, barulah saya mengerti maksud Tuhan. Anehnya, hati saya begitu pasrah: “Tuhan, terjadilah kehendak-Mu.” Padahal, sebelumnya saya tidak mau hidup membiara, apalagi biara kontemplatif. Rencana saya adalah ikut aktif dalam kegiatan Paroki dan lingkungan saja sudah cukup. Ternyata Tuhan mempunyai rencana lain. “Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku” (Yes 55:8). Setengah tahun kemudian, Dia memberikan kekuatan kepada saya untuk melangkah mengikuti Dia. Dia membuka rahasia kasih-Nya dan menyatakan kepada saya siapakah saya ini. Dia berbicara kepada saya melalui berbagai macam cara dan kesempatan, baik melalui Ekaristi, doa, retret, pelajaran, bimbingan pribadi, komunikasi dengan sesama, alam semesta dan ciptaan-Nya, dll. Dia sungguh hidup. Dia mengenal diri saya. Vivit Dominus in cuius conspectu sto ‘Allah hidup dan aku berdiri di hadirat-Nya’. Dia sudah menyusun kurikulum dalam “sekolah kesempurnaan-Nya” yang khas bagi saya. “Sebab itu, sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia, dan membawa dia ke padang gurun, dan berbicara menenangkan hatinya” (Hos 2:13). Pelajaran pertama dalam sekolah kesempurnaan-Nya yang sangat berkesan bagi saya adalah melalui khotbah di suatu hari Minggu, “Bukalah topengmu!” Sabda-Nya bagaikan panah menembus kesadaran saya. Saya terkejut. “Tuhan, apakah diriku bertopeng?” Dan, selama beberapa hari sabda tersebut masih terdengar. Akhirnya, saya menyerah dan berdoa, “Lakukanlah, ya Tuhan, tolonglah aku! Bukalah topeng-topeng yang ada dalam diriku!” Awal pembukaan topeng saya adalah dalam bulan Oktober 1987 pada acara Retret Penyembuhan Lukan Batin, khususnya pada saat doa penyembuhan batin. Saya melihat ada seorang bayi yang sangat kecil di tempat yang sangat jauh dan sendirian. Akhirnya, saya tahu bahwa itulah saya. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau” (Yer1:5). Tuhan mau membentuk dan menyembuhkan saya sejak dalam kandungan. Sungguh indah dan agung karya keselamatan-Nya bagi saya. Saya mulai mengenal diri saya sendiri yang sangat rapuh dan lemah, yang cinta diri dan egois, tetapi sekaligus makin mengenal Bapa yang penuh kasih dan yang memperlakukan saya sebagai anak-Nya yang berharga di mata-Nya dan dikasihi-Nya. Kadang-kadang hidup saya diliputi oleh damai dan sukacita; kadang-kadang diliputi dengan perjuangan, bahkan disertai dengan air mata. Air mata adalah karunia Tuhan bagi saya karena sebelumnya saya adalah wanita yang sukar menangis. Hati saya rupanya mengeras seperti batu dan dingin membeku seperti es. Bagaikan seorang bayi yang baru lahir, “menangis” merupakan tanda kehidupan, begitu pula dengan diri saya. Melalui karunia air mata, saya lahir ke dalam kehidupan baru. Sepanjang sejarah keselamatan saya ini, Tuhan memberikan sabda-sabda-Nya yang sangat menolong sebagai pegangan bagiku, yaitu: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm 8:28). “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1Kor 10:13). Suatu ketika saya berdoa, “Tuhan, apakah Engkau memanggil aku untuk mati di sini?” Lalu Dia menjawab dengan penuh kelembutan melalui pelajaran St. Teresa dari Avila, “Kita dipanggil untuk mati bersama Dia, supaya kita dapat bangkit bersama Dia.” Mengalami kematian bagi diri sendiri sangatlah tidak mudah karena memerlukan rahmat khusus. Tahap demi tahap kita mati bersama Dia. Dia akan membawa kita kepada kebangkitan tahap demi tahap pula. Damai dan sukacita yang dialami hari ini, berbeda dengan damai dan sukacita yang dialami kemarin. Dalam saat-saat sukacita, kadang-kadang Dia menyatakan kasih-Nya dalam hal yang kecil dan manusiawi. Semuanya itu menambah pengenalan saya kepada-Nya dan ada suatu kebahagiaan yang khas pula. Dalam hal ini, saya memiliki pengalaman kecil. Suatu ketika, pagi hari seusai hujan, ketika saya berjalan, pandangan saya terarah ke kebun. Tampaklah daun ubi yang hijau, muda, dan empuk. Secara spontan saya langsung ingin dan terbayang sayur daun ubi. Siapa yang menduga kalau menu makan siang hari itu adalah sayur daun ubi? Saya bahagia sekali. Yesus begitu mencintai saya, padahal saya tidak mengatakan kepada siapa pun, juga kepada Yesus. Dalam perjalanan hidup saya, saya senantiasa belajar menyerahkan diri kepada-Nya, dalam jatuh dan bangun. Dia Maha Sabar kepada saya. “Ya Allah Tritunggal Maha Kudus, Bapa, Putra, dan Roh Kudus, terima kasih.Inilah aku, kuserahkan diriku kepada-Mu.Tuntunlah aku ke dalam jalan yang Kau sediakan bagiku menuju tanah air surgawi.Di sanalah baru dinyatakan, dalam sekolah kesempurnaan-Mu.” (Oleh: Sr. Maria Stefani, P.Karm)
- Panggilan Ilahi Bagiku
Saya bersyukur kepada Tuhan karena Dialah yang menempatkan saya dalam Serikat CSE. Bagi saya, ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi rencana Allah bagi hidup saya. Tawaran panggilan mulia ini saya jawab dengan penuh kepercayaan bahwa Allahlah yang menyelenggarakan semuanya. “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16a). Menjadi seorang pertapa merupakan suatu rahmat Allah dan sungguh panggilan yang mulia. Saya sangat tertarik dengan cara hidup sebagai rahib/pertapa karena siang malam dihabiskan dengan berdoa, duduk bersila, rambut panjang, tinggal di hutan atau dalam pondok atau dalam gua-gua. Itulah gambaran awal sebelum saya masuk biara. Selain tertarik kepada kehidupan sebagai pertapa, saya membaca brosur Putri Karmel dan CSE. Dalam brosur itu dijelaskan tentang tujuan dan cita-cita Putri Karmel dan CSE, yaitu membentuk para suster, frater, dan imam yang penuh Roh Kudus, yang memiliki cinta yang menyala-nyala kepada Tuhan Yesus Kristus dan sesama karena hatinya dibakar oleh Roh Kudus. Selain itu, Putri Karmel dan CSE mau membimbing anggota-anggotanya kepada pengalaman Allah yang mendalam melalui suatu penyerahan diri yang total kepada Tuhan Yesus, yang menjadikan Yesus pusat hidupnya. Putri Karmel dan CSE mau membawa para anggotanya kepada pengalaman Roh Kudus seperti yang dialami para rasul pada hari Pentakosta. Perkenalan lewat brosur ini menimbulkan dorongan dan keberanian untuk melangkah dan mengarahkan pandangan saya untuk masuk serikat CSE. Saya ingat sekali waktu itu hati saya begitu berkobar-kobar untuk menulis surat dan dengan kerinduan menanti balasan dari Rm. Yohanes. Setelah dinyatakan bahwa saya diterima, saya sangat bersukacita dan terharu. Apa yang saya rindukan, yaitu mengenal dan mengalami Allah yang hidup, mengalami kehadiran Roh Kudus, dan menjadi seorang pertapa dapat tercapai. Saya bersyukur atas rahmat yang Tuhan curahkan bagi saya. Saya masuk biara CSE pada tahun 1998. Dan, hingga sekarang saya merasa waktu begitu cepatnya berlalu. Saya bahagia hidup dalam Serikat CSE. Ini merupakan rahmat Allah bagi saya. Saya merasa bahagia karena motivasi dasar saya jelas. Dengan demikian, saya senantiasa membarui diri, untuk apa saya hidup dalam biara. Hari demi hari, Tuhan senantiasa menyadarkan saya bahwa melalui hidup dalam kesunyian dan keheningan, Tuhan mencurahkan kebijaksanaan-Nya. Serikat CSE begitu berarti bagi hidup saya karena setiap hari memberikan makanan rohani secara berlimpah. Saya “dibesarkan”, dibimbing, diperkaya, dan diarahkan kepada Allah Sang Sumber Kasih. Terus terang, saya tidak menyesal telah memilih CSE, malahan saya boleh berbangga dan bersyukur kepada Tuhan. Dalam serikat ini pula saya baru menyadari bahwa untuk mencapai kekudusan sangatlah sederhana dan tidak berliku-liku. Panggilan kita pertama-tama adalah anak-anak Allah, yang kedua sebagai religius, dan ketiga sebagai seorang Karmelit. Di sini saya disadarkan kembali bahwa sebagai Karmelit, untuk berjumpa dengan Tuhan adalah dengan memiliki hubungan pribadi yang mendalam serta hidup doa yang lebih hidup. Hidup di hadirat Allah itu berarti bahwa Allah patut dicintai di atas segala sesuatu. Saya bersyukur karena di dalam CSE saya menemukan iklim dan sarana yang cocok untuk semakin hidup dalam hubungan yang lebih mesra dengan Tuhan Yesus dan sejak di dunia ini boleh mengalami kemanisan surgawi. Memang benar apa yang menjadi tujuan dan cita-cita Serikat CSE. Banyak perkara ilahi yang tidak saya mengerti namun dinyatakan Allah dalam hidup sehari-hari. Di sinilah Allah membimbing dalam pelbagai cara dan kehendak-Nya. Barulah saya mengerti setelah saya mengalaminya sendiri. “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor 2:9). Pengalaman sehari-hari sangat membantu untuk belajar hidup dalam iman dan melihat segala sesuatu dari kacamata iman. Kehidupan dalam Serikat CSE sangat bertolak belakang dengan apa yang dikejar-kejar oleh manusia pada zaman sekarang ini. Manusia begitu haus akan kemasyhuran, pujian, kemuliaan, kenikmatan, kedudukan, dan pelbagai macam daya tarik di dunia ini. Akan tetapi, dalam Serikat CSE saya menemukan arti hidup yang melawan arus dengan apa yang ada di zaman sekarang ini. Saya mengalami sendiri bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan caranya sederhana sekali, yaitu mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Apabila orang benar-benar mengabdi Allah dan menomorsatukan Allah, ia pasti akan mengalami kebahagiaan, siapa pun itu orangnya. Ini berlaku bagi mereka yang ada dalam biara maupun mereka yang ada di luar biara. Keterbukaan hati terhadap karya Allah atau karya Roh Kudus akan membuat kita bersukacita, mengalami kehadiran-Nya, juga menjadi saksi-saksi Allah yang hidup. Dalam hidup kekristenan, pasti banyak yang pernah mendengar tentang iman, harapan, dan kasih. Namun, kebajikan teologal ini sering lewat begitu saja dan kurang disadari. Ketiga kebajikan teologal ini sangat memainkan peranan penting dalam hubungan dengan Allah. Selama retret di Padang Gurun, saya disegarkan kembali akan peranan ketiga kebajikan teologal ini. Dengan iman, harapan, dan kasih, kita dapat mencapai Allah sehingga dapat terjadi hubungan pribadi antara Allah dan saya. Allah tak dapat dikenal oleh pengertian dan akal budi kita. Seperti yang dikatakan oleh St. Gregorius dari Nissa, kita baru sungguh mengenal Allah bila kita sadar bahwa Allah tidak dapat dikenal. Pengajaran ini membuat saya semakin bersyukur kepada serikat yang mengajarkan jalan-jalan rohani yang harus ditempuh untuk menuju Allah dalam iman, harapan, dan kasih. Akhirnya, kerinduan akan Allah lewat ketiga kebajikan teologal merupakan gerak terdalam dari jiwa kita. Namun, cinta kasih yang keluar dari iman merupakan jantung dari kebajikan teologal karena kasih adalah kebajikan yang tak akan hilang. Begitu luhurnya tujuan dan cita-cita serikat sehingga membawa hidup saya begitu berarti sebagai anak-anak Allah. (oleh: Chrispin Pio, CSE)