Orang Kristiani Dipanggil Untuk Melewati Padang Gurun

Pengantar

Kata atau istilah Padang Gurun bagi orang Kristiani dewasa ini merupakan suatu istilah yang asing dan bahkan tidak dikenal. Tentunya ini merupakan sesuatu yang patut disayangkan! Mengapa demikian? Jikalau kita melihat historitas kepercayaan orang Kristiani yang de facto merupakan perpaduan dari kepercayaan orang Israel dengan terpenuhinya dalam diri Yesus Krisrus segala yang dikisahkan panjang lebar dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, khususnya dalam empat kitab Taurat Musa, kita akan menemukan bagaimana pergulatan orang Israel selama kira-kira 40 tahun di Padang Gurun, baik dengan sesamanya maupun dengan Allah sendiri.

Oleh karena itu, alangkah pentingnya bagi orang Kristiani dewasa ini untuk mengerti dan mengenal sejarah perjalanan iman orang Israel dari Tanah Mesir menuju Tanah Terjanji yang dijanjikan oleh YAHWE sendiri. Dengan demikian iman yang dimiliki juga akan semakin mendalam, seperti Bangsa Israel, meskipun di tengah segala perjuangan yang mereka alami. Bahkan ketika dengan mata manusia sesuatu itu tidak mungkin lagi, tetapi justru pada saat-saat sulit seperti itu mereka menemukan Allah yang menyelamatkan. Dalam dunia sekarang ini, tidak jarang kita juga menemukan situasi seperti padang gurun, yaitu di saat kita mengalami kesulitan, baik itu disebabkan keadaan ekonomi maupun kesulitan-kesulitan yang lain. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kita sebagai orang Kristiani diajak untuk melihat dan meneladani iman dan semangat orang Israel di tengah situasi gersang padang gurun dunia dewasa ini.

Apa itu Padang Gurun?

Secara definitif padang gurun dapat diartikan sebagai suatu tempat yang dipenuhi dengan pasir, berbatu-batu, tidak ada pohon, tidak ada air, pada siang hari cuacanya sangat panas dan sebaliknya pada malam hari cuacanya sangat dingin dan tidak ada apa-apa. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikannya secara singkat bahwa padang gurun adalah suatu tempat yang tidak menyenangkan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal atau tempat untuk hidup. Sehingga dari definisi ini dapat dibayangkan bagaimana penderitaan yang dialami oleh bangsa Israel selama kira-kira 40 tahun di padang Gurun. Angka 40 tahun memiliki arti tertentu, yaitu sebagai lambang suatu masa yang sangat lama. Karena perjalanan yang sangat lama maka sebagai konsekuensinya membutuhkan ketekunan, ketahanan, dan kesabaran.

Pengalaman Padang Gurun Bagi Bangsa Israel

Sejarah iman bangsa Israel tidak bisa lepas dari sejarah perjalanan mereka dari tanah Mesir menuju tanah Terjanji yang dijanjikan oleh YAHWE sendiri melalui perantaraan hambanya, yaitu Musa. Meskipun Israel sebagai identitas negara telah lenyap beberapa kali, tetapi ternyata mereka mampu bertahan sebagai bangsa. Di sini ada ikatan kesatuan identitas yang sangat luar biasa yang membuat mereka mampu bertahan. Apa itu? Ikatan ini adalah kesatuan akan pengalaman mereka bersama: bangsa Israel telah bersama-sama melewati padang gurun selama kira-kira 40 tahun. Pengalaman padang gurun inilah yang membentuk dasar jiwa bangsa Israel.

Dalam perjalanan kehidupan bangsa Israel, mereka melihat bahwa pengalaman berjalan di padang gurun merupakan suatu masa keemasan. Oleh karena di sana mereka menemukan beberapa nilai mendasar dari kehidupan manusia. Padang gurun telah menjadi masa pembentukan yang sangat penting sebagai bangsa. Ada dua nilai yang sangat penting ditemukan di sana, yaitu nilai kesetaraan serta kesetiaan dan perhatian bagi mereka yang lemah.

Arti nilai kesetaraan serta kesetiaan

Perjalanan bangsa Israel di padang gurun telah mengajarkan apa artinya kesetaraan. Di sana semua orang dalam keadaan yang hampir sama. Di padang gurun tidak ada perbedaan yang mencolok antara yang lemah dan yang kuat, antara yang miskin dan yang kaya, tidak ada situasi yang satu kekenyangan sementara yang lain kelaparan. Nasib mereka semuanya sama! Sehingga dalam peribahasa Indonesia kita temukan “ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul.” Demikianlah suatu keadaan yang baik, yakni tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara yang satu dengan yang lain.

Dalam bahasa Ibrani ada satu kata yang mempunyai arti yang sangat mendalam yang menggambarkan arti nilai kesetaraan serta kesetiaan yaitu kata “sedeq”. Dalam Perjanjian Lama kata ini memiliki makna yang amat mendasar dalam kaitan hubungan antara manusia. Beruntung bahwa kita memiliki kata “sedekah” dalam bahasa Indonesia yang kita terima dari bahasa Arab, yang diartikan dalam bahasa Indonesia: “memberi sumbangan kepada orang miskin.” Namun, pengertian mendasar atau pengertian awalnya adalah pertama-tama yaitu; “lurus” yang kemudian juga berarti “benar atau adil.” Memberi sedekah hanyalah sebuah contoh tindakan kita untuk semakin menyeimbangankan keadaan. Yang lebih memberi kepada mereka yang mengalami kekurangan. Jadi kata “sedeq” mengungkapkan rancangan awal Tuhan yang menghendaki sebuah dunia yang adil, sebuah dunia yang lurus, yang membuat kesetaraan serta kesetiaan antara manusia yang satu dengan yang lain.

Dari pengalaman di padang gurun Israel belajar bagaimana dalam hubungan bersama, setiap orang mencoba menunjukkan diri dalam hubungan yang tepat atau kurang lebih lurus. Seseorang biasanya merasakan, jika ada ketidakseimbangan yang mencolok, ketidaksetaraan yang kentara. Hal itu merupakan suatu situasi yang tidak benar atau tidak adil. Ketidaksetaraan yang mencolok tidaklah dapat diterima, tidak dapat dibiarkan dan harus digugat. Tugas kenabian mengalir dari pengenalan akan Tuhan yang demikian karena Tuhan tidak bisa menerima suatu keadaan ketidaksetaraan yang mencolok atau suatu keadaan yang dibengkokkan dari yang lurus menjadi bengkok. (Bdk. Kej. 14: 18)

Arti nilai perhatian yang lemah

Nilai dasar kedua yang dipelajari Israel pada waktu melintasi padang gurun adalah perhatian pada orang lain, teristimewa mereka yang lemah. Mereka beranggapan bahwa orang lain adalah saudara yang menjadi tanggungjawab mereka. Bangsa Israel belajar apa artinya hidup bersaudara atau apa artinya menjadi saudara. Hidup orang lain dan kesejahteraan mereka adalah menjadi tanggungjawab mereka juga. Orang tidak bisa dan tidak boleh hanya berpikir untuk kepentingannya sendiri karena mereka adalah rekan-rekan seperjalanan. Apa yang terjadi pada orang lain, juga berpengaruh pada dirinya. Pengalaman padang gurun ini merupakan suatu kuliah yang sangat berharga bagi bangsa Israel karena menjadi antitesis terhadap sikap egois yang telah diwariskan kepada manusia sejak zaman Kain. (Bdk. Kej. 4:9; Kej. 3: 12-13)

Di Mesir bangsa Israel belajar apa artinya menjadi orang yang tertindas dan orang asing, dan dari pengalaman di padang gurun mereka tahu apa arti hidup sengsara, lapar, dan haus. Oleh karena itu, mereka tentunya sangat peka terhadap orang yang lemah dan mereka menjadi tahu bahwa martabat sebuah bangsa ditentukan oleh perlakuan mereka terhadap orang paling lemah. Bangsa Israel menyadari bahwa YAHWE telah berbelaskasih dan setia menolong mereka. Oleh sebab itu kedua nilai ini, yaitu berbelaskasih dan kesetiaan menjadi nilai dasar hidup bersama sebagai suatu bangsa.

Panggilan Dasar Sebagai Seorang Kristiani

Setiap orang kristiani pada dasarnya dipanggil untuk menjadi kudus. Atau dengan kata lain hidup orang kristiani adalah hidup yang dikhususkan untuk Allah, hidup yang diabdikan sepenuhnya kepada Allah. (Kudus artinya: satu/tidak ada duanya atau berbeda/lain daripada yang lain, berbeda dengan yang lain) Panggilan dasar ini telah menggema sejak Perjanjian Lama sampai pada Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama kita menemukan kisah peristiwa di Sinai, di Gunung Sinai Allah menampakkan diri kepada hambanya, yaitu Musa. Ia menyatakan rencananya kepada bangsa Israel, yaitu supaya mereka menjadi kudus bagi Dia, “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus.” (Kel. 19:6) Dan oleh karena pribadi Allah yang kudus maka sebagai konsekuensinya umat Israel juga dituntut untuk menjadi kudus, “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus.” (Im. 11:44)

Demikian juga kita temukan dalam Perjanjian Baru, seluruh pengajaran Tuhan Yesus selalu berorientasi pada kekudusan hidup dan kesempurnaan dalam cintakasih. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di Sorga adalah sempurna.” (Mat. 5:48) Suatu seruan yang senada diwartakan oleh Santo Petrus yang mengajak umat supaya menjadi kudus, karena Allah adalah kudus, “Tetapi hendaklah kamu kudus di dalam seluruh hidupmu, sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu.” (1 Ptr. 1:15) Himbauan yang sama kita jumpai dalam surat-surat santo Paulus yang berkali-kali menekankan bahwa kita harus menjadi kudus, supaya kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang kudus kepada Allah. “Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm. 12:1) Dan masih begitu banyak tulisan-tulisan dari para murid Kristus yang mengajak seluruh umat untuk menjadi kudus bagi Allah.

Kesimpulan

Sejarah perjalanan hidup bangsa Israel melintasi padang gurun dari tanah Mesir menuju tanah terjanji merupakan suatu gambaran perjalanan hidup kita di dunia menuju tanah terjanji yang sudah disediakan oleh Allah kepada setiap manusia. Di tengah dunia yang semakin sekular, ada begitu banyak orang yang melihat orang lain sebagai saingannya sehingga sebagai konsekuensinya, maka orang lain dilihat sebagai musuh yang harus dihalangi perjalanannya dan bahkan harus dijatuhkan. Tentunya ini merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang melawan cintakasih dan bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh bangsa Israel pada zaman dahulu yang melihat orang lain sebagai saudara yang harus diperhatikan. Jikalau kita melihat dan merenungkan kehidupan orang yang sudah mencapai kesempurnaan cintakasih di dalam Allah (orang-orang kudus), kita akan selalu melihat bahwa seluruh kehidupan mereka dipenuhi oleh penderitaan, baik itu berasal dari sesama manusia maupun dari pihak Allah. Dari pihak Allah bukan berarti Allah berkehendak untuk mencobai manusia, tetapi kadang-kadang agar manusia tidak tenggelam dalam keegoisannya dan cinta diri yang berlebih-lebihan. Akan tetapi di dalam penderitaan yang mereka alami, justru di situlah mereka menemukan kehadiran Allah yang mengasihi dan mencintai mereka. Pengalaman ini sudah dialami oleh Bangsa Israel sejak jauh sebelumnya, yaitu di tengah situasi padang gurun yang sangat menyakitkan, tidak ada apa-apa, tetapi justru di situlah mereka menemukan YAHWE yang menyelamatkan dan mencintai mereka.

Pengalaman padang gurun oleh bangsa Israel kini sudah menjadi pengalaman kita dewasa ini. Begitu banyak orang yang tidak melihat lagi dunia ini sebagai tempat damai dan merasa aman yang membuat manusia merasakan kehadiran Allah yang mengasihi dan mencintai setiap orang. Situasi dunia yang kini semakin panas oleh persaingan yang tidak sehat, kemajuan teknologi yang tidak dapat lagi melihat bahwa Allah adalah yang menguasai seluruh kehidupan manusia membuat manusia tidak lagi ingin hidup lama dan mau berpaling dari keadaan seperti ini. Namun inilah realitas dunia, inilah padang gurun zaman sekarang, tidak ada jalan lain dan tidak boleh menghindarinya. Dengan kata lain situasi padang gurun ini harus dilalui dengan setia oleh manusia. Meskipun demikian, orang kristiani tetap dipanggil untuk menjadi kudus di hadapan Allah. Ini merupakan suatu tantangan yang sangat berat bagi orang kristiani, tetapi barangsiapa yang berlangkah terus dalam kehendak Allah maka Allah akan menyediakan rahmat yang cukup sehingga kita akan sampai pada tanah terjanji, yaitu tanah yang sudah disediakan oleh Allah bagi setiap orang yang berharap dan percaya kepada-Nya.

Orang Kristiani Dipanggil Untuk Melewati Padang Gurun