Pencarianku Selama Ini
Entah apa sebabnya sehingga saya memberanikan diri untuk mengayunkan langkah dan mengikuti panggilan yang ada dalam hati saya. Entah mengapa saya memilih Putri Karmel sebagai tempat yang dapat memuaskan seluruh kerinduan saya untuk mencintai Dia yang telah memanggil saya. Dan, masih banyak “entah” lain yang pernah muncul dalam pikiran saya. kenyataannya, sekarang saya telah berada di kongregasi ini lebih dari sepuluh tahun.
Saya menerima Sakramen Pembaptisan dan Komuni Pertama saat kelas VI SD pada tanggal 27 Desember 1982. Sejak pembaptisan itu, saya senang mengikuti Perayaan Ekaristi. Guru Agama saya mengajarkan tentang apa yang terjadi selama Perayaan Ekaristi. Dia menerangkan dengan penuh kesungguhan tentang saat konsekrasi dan saat komuni. Semua itu terekam baik dalam memori saya sehingga saya sangat menanti-nantikan saat konsekrasi dan komuni.
Ketika SMP, saya ikut kegiatan misdinar dan REMAKA (Remaja Katolik) yang ada di paroki. Saat bertugas di altar, saya bertanya-tanya, “Apakah ada perempuan yang seperti imam? Yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan? Sepertinya saya ingin juga seperti itu.” Saya dibesarkan di Subang dan saya merasa tidak pernah melihat suster di sana. Memang mayoritas penduduknya beragama Islam. Keluarga saya sendiri belum menganut agama Katolik. Namun, dari TK sampai dengan SMP, saya belajar di sekolah Katolik. Ketika kelas II SMP, saya ikut retret yang dipimpin oleh dua suster CB di biara OCD di Lembang. Saat itulah pertama kalinya saya melihat suster.
Ketika retret itu, saya menyukai suster yang lebih pendiam dan hanya senyum-senyum saja daripada suster yang begitu ceria, menarik, dan disenangi oleh teman-teman (mungkin karena saya memiliki karakter yang sama dengan dia). Waktu itu diberi kesempatan untuk konsultasi, tetapi saya tidak tahu apa artinya “konsultasi” itu. Saya dekati suster itu dan saya katakan bahwa saya mau menjadi seorang suster, tetapi saya masih jahat terhadap adik-adik saya dan sering berkelahi dengan mereka. Suster itu tersenyum dan berkata, “Kamu harus banyak berdoa dan mengasihi adik-adikmu.” Itulah konsultasi pertama dan tersingkat yang pernah saya lakukan.
Selam retret itu, saya tidak pernah melihat suster OCD. Saya bertanya kepada teman-teman saya tentang suster OCD. Mereka menjelaskan sedikit dan hal ini membuat saya semakin penasaran. Saya coba pergi ke kapel mereka untuk mengintip, tetapi tidak melihat mereka. Saya hanya ingin tahu satu hal, “Apakah mereka pakai sandal atau tidak karena namanya Karmel tak berkasut?” Ketika selesai retret dan kembali ke rumah, hati saya sakit sekali. Entah apa sebabnya sehingga saya ingin menangis rasanya. Ada sesuatu yang mau diambil dari hati saya, tetapi saya hanya diam dan merasakan rasa sakit itu seorang diri.
Suatu hari saya mengikuti Camping muda-mudi yang diadakan di paroki. Di hari terakhir camping, mama datang untuk menjemput saya. Ketika mau pulang, saya mendengar seorang guru yang mengatakan kepada mama saya, “Ibu, anak ibu ini cocok untuk menjadi seorang suster, loh.” Mama saya lalu menjawab, “Kalau anaknya mau, ya tidak apa-apa.” Saat itu saya ingin mendekat dan berteriak, “Iya, Ma, saya mau sekali!” Tetapi, saya hanya diam saja. Di becak dalam perjalanan pulang, mama saya marah-marah den membentak saya. Mama mengatakan bahwa sekali-kali saya tidak boleh jadi suster. Saya sedih sekali. Saya hanya berkata dalam hati, “Loh, tadi saya tidak bicara apa-apa. Khan, mama yang bilang saya boleh jadi suster.” Karena saya sangat sayang kepada mama, maka keinginan itu saya tepis dari pikiran saya. Setelah itu papa dan mama mulai melarang kalau saya terlalu sering ke gereja. Semuanya itu saya pendam sampai saya lulus SMA.
Setelah SMA, saya melanjutkan kuliah di Akademi Sekretaris Tarakanita di Jakarta. Kerinduan untuk hidup membiara hilang sudah. Saya mulai serius belajar dan mengikuti kursus-kursus bahasa asing. Saya mulai senang jalan-jalan dengan teman-teman dan tidak lagi mengikuti kegiatan di paroki. Hal ini terjadi sampai saya lulus kuliah dan mulai bekerja. Kerinduan untuk menjadi suster hanya muncul setahun dua kali, yaitu saat Minggu Panggilan dan saat ziarah (setiap tahun saya diajak kakak saya berziarah ke gua Maria). Tetapi, dalam keseharian semuanya lenyap. Kemudian saya berkenalan dengan seorang pemuda dan akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan dia.
Setelah tiga tahun pacaran, saya mulai aktif lagi di Legio Maria di Paroki Maria Kusuma Karmel (MKK). Pada waktu itu belum ada Legio Muda-mudi. Bersama beberapa teman, kami memulai kegiatan tersebut. Kemudian muncul kembali kerinduan itu, tetapi saya tepis dari pikiran saya sebab saya merasa bahwa Tuhan sudah memberikan seorang yang paling baik bagi saya. Tetapi, semakin saya menolak, semakin besar kerinduan itu muncul di dalam hati saya. Lebih lagi, saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri saya. Ada suatu kekosongan yang saya tidak mengerti dan membuat hati saya sakit. Saya berusaha menghilangkan perasaan ini dengan jalan-jalan, menonton TV, atau pergi ke bioskop. Memang, saat pergi perasaan menyakitkan itu hilang, tetapi saat sendirian, perasaan itu muncul kembali.
Muncullah kebingungan dalam diri saya terhadap apa yang Tuhan kehendaki dari saya, “Menjadi suster atau hidup berkeluarga?” Saya yakin bahwa kedua hal ini dapat saya jalani dengan baik. Semakin saya berdoa, semakin saya bingung karena Tuhan memberikan semua yang terbaik pada waktu itu: pekerjaan dengan gaji dan posisi yang lumayan, pimpinan yang sangat baik, hubungan dengan orang tua dan saudara juga tidak ada masalah, hubungan dengan teman-teman juga harmonis. Akan tetapi, di lain pihak saya merasa ada kekosongan yang begitu mendalam dan saya tidak bisa menghindarinya. Kekosongan yang membuat saya sedih dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pada suatu malam, sepulang dari pesta pernikahan teman saya, pacar saya bertanya, “Kapan kita akan menikah?” Sebelumnya saya memang sudah mengambil keputusan bahwa saya akan menikah pada tahun 1998. Perasaan saya galau dan bingung. Namun, dengan berat hati saya menjawabnya, “Iya, nanti tahun depan.” Dan, dia bertanya lagi, “Sepertinya kamu tidak pasti, ya?” Akhirnya saya berkata jujur kepadanya mengenai apa yang terjadi dengan saya. Setelah saya selesai bercerita, dia menyarankan saya untuk pergi mencoba ke salah satu biara yang saya mau untuk meyakinkan panggilan saya. Kemudian dia mengatakan bahwa dia mengingkan agar saya bahagia.
Kemudian saya pergi ke pasto di Paroki MKK dan bertanya tentang biara yang mungkin bisa saya coba. Pastornya bingung karena beliau tahu kalau saya sudah punya pacar. Lalu beliau memberikan alamat suster H.Carm di Malang. Saya berkunjung ke sana dan saya merasa senang tinggal beberapa hari bersama mereka. Tetapi, saya merasa bukan di sini panggilan saya. Kemudian saya meminta kepada pastor paroki tentang buku daftar ordo atau kongregasi yang ada. Setelah saya membacanya, saya tertarik dengan suster Klaris Misionaris dari Sakramen Maha Kudus karena saya memiliki devosi yang besar kepada Sakramen Maha Kudus. Maka, saya menghubungi biara mereka. Setelah berbicara dengan salah seorang suster di sana, dia menyarankan agar saya pergi ke rumah pusat dan formasi mereka di Madiun. Saya pun menyetujuinya, namun tidak dalam waktu dekat karena saya baru saja cuti.
Waktu itu ada pula teman Legio saya yang mau masuk suster Ursulin dan dia mengajak saya ke Bandung untuk melihat-lihat biara mereka. Selama tiga hari saya berada di sana. Meskipun saya diterima dengan baik oleh para suster, namun saya merasa bahwa di sini bukan panggilan saya.
Suatu hari tiba-tiba saya teringat akan pengalaman di tahun 1992 ketika mengantar kakak saya yang sakit ke tempat Rm. Yohanes di Cipanas. Kami mengikuti Misa Penyembuhan. Saya senang sekali dengan suasana di Pertapaan Lama dan suasana misa (yang bagi saya cukup aneh, tetapi menyentuh hati saya). Waktu komuni, saya melihat dua suster yang berjubah coklat duduk di bagian depan. Saya pikir mereka hanyalah tamu. Kemudian saya bertanya kepada pastor paroki saya apakah di tempat Rm. Yohanes ada pula susternya. Beliau menjawab ada dan saya meminta alamatnya untuk menghubungi mereka. Saya menulis surat dan menjelaskan apa yang saya alami. Beberapa hari kemudian, datanglah surat balasan dari Sr. Vianney, P.Karm beserta dengan brosur Putri Karmel.
Saya baca brosur itu dan saya tertarik dengan kehidupan Padang Gurun. Saya tidak terlalu mengerti aktivitas dan pelayanan serikat, tetapi visi dan misi serikat sangat menarik bagi saya. Saya merasa inilah panggilan saya. Sebelum saya berangkat ke Malang untuk meninjau biara suster Putri Karmel, saya mendapatkan telepon dari suster Klaris Misionaris yang menanyakan kapan saya bisa ke Madiun. Saya beritahu bahwa setelah dari Tumpang—Malang, kalau sempat saya akan mampir ke Madiun. Namun, akhirnya saya tidak ke Madiun karena waktu itu sedang ada kampanye Pemilu sehingga keadaan cukup rawan, dan dari diri saya sendiri saya tidak mau pergi ke sana.
Selama beberapa hari di Tumpang, saya mencoba merefleksikan kembali apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi saya. Saya juga mendengarkan kaset tentang Retret Awal. Kemudian Sr. Vianney mendoakan saya dan saya menangis. Saya sendiri tidak tahu mengapa saya menangis. Namun, saya merasa bahwa panggilan saya untuk menjadi biarawati diteguhkan. Setelah kembali ke Jakarta, sepertinya saya merasa ingin kembali ke Tumpang. Ada kerinduan dalam hati saya untuk tinggal di “hutan kecil” itu.
Setelah pulang dari Tumpang, kakak tertua saya dari Subang menelepon saya dan menanyakan kabar saya. Karena tidak bisa berbohong, maka saya ceritakan bahwa saya berkunjung ke suatu biara. Kemudian kakak saya ini menceritakannya kepada saudara-saudara yang lain, kecuali kepada papa dan mama. Setelah saya memutuskan untuk masuk biara, saya pulang untuk memberitahu orang tua saya. Ketika malam hari, saya tidur di samping mama dan saya mulai sedikit bicara soal niat saya masuk biara. Kemudian mama bingung dan bertanya macam-macam. Saya kaget dan kasihan dengan mama. Saya berusaha menenangkan mama. Keesokan harinya sampai saya pulang ke Jakarta, mama tidak bicara apa-apa. Kemudian mama menghubungi kakak saya di Jakarta dan kakak saya memberitahukan semuanya. Rupanya, inilah saat di mana Tuhan menyingkapkan semuanya.
Saat saya memberitahu pimpinan saya bahwa saya mau keluar dari pekerjaan, beliau tidak memberikan izin. Beliau berusaha mencegah saya keluar dan masuk biara. Beliau menawarkan kenaikan gaji, mobil, rumah, jalan-jalan ke luar negeri, dll. Teman-teman saya pun ada yang membodoh-bodohi saya. Kemudian saya merefleksikan semuanya itu, “Apa yang kurang?” Tidak ada! Semuanya bahkan berlebihan. Tuhan memberkati saya dengan yang terbaik. Tetapi, hanya satu yang kurang, yaitu ada kekosongan dalam hati saya yang tidak dapat diisi dengan semua yang saya miliki. Ada kerinduan untuk memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Entah dari mana datangnya keberanian dan kenekatan saya untuk meninggalkan semuanya itu dan mengikuti dorongan hati saya. Sebelumnya saya sering ragu-ragu dan takut dalam mengambil keputusan. Saya rasa Roh Kuduslah yang memberanikan saya untuk melangkah dan menanggapi panggilan kasih Tuhan. Akhirnya saya diterima sebagai postulan Putri Karmel pada tanggal 15 Juli 1998—tahun di mana saya berjanji mau menikah dengan pacar saya—saya memulai hidup yang baru bersama pacar baru saya, yaitu Yesus yang terlebih dahulu mencintai dan memanggil saya. Saya tidak mengingkari janji saya, tetapi saya mengikat cinta yang ada dalam hati saya pada tahun yang sama dengan pribadi yang berbeda.
Kesaksian oleh Sr. Marie Alphonsa, P.Karm
